Makin banyak orang pindah ke kota-kota besar yang kebetulan dibangun di atas garis patahan, dan mereka membangun gedung-gedung di bawah standar yang tak tahan guncangan gempa. Pemantauan seismik yang lebih baik dan pemberitaan 24 jam sejari membuat fenomena alam itu seolah bertambah sering terjadi. “Saya dapat menyatakan bahwa bumi belum akan berakhir,” kata Bob Holdsworth, seorang pakar tektonik di Durham University di Inggris utara .
Bulan lalu, gempa dengan magnitudo 7,0 menewaskan lebih dari 230.000 orang di Haiti. Kurang dari dua pekan lalu, gempa dengan magnitudo 8,8 –gempa kelima terkuat sejak 1900 — menewaskan lebih dari 900 orang di Cile. Hari Senin, gempa 6,0 mengguncang Turki timur, menewaskan sedikitnya 51 orang.
Berdasarkan data lembaga survei geologi Amerika Serikat (USGS), setiap tahun rata-rata terjadi 134 gempa bumi dengan magnitudo antara 6,0 dan 6,9. Tahun ini laju gelombang gempa memang datang sedikit terlalu cepat, mencapai 40 kali gempa dalam waktu kurang dari tiga bulan, jauh lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Namun itu terjadi karena gempa 8,8 di Cile membangkitkan serentetan gempa susulan yang cukup kuat. Banyaknya gempa yang secara kebetulan terjadi hampir bersamaan di awal tahun ini menimbulkan anggapan tersebut, kata Paul Earle, seorang seismolog di U.S. Geological Survey.
Bukan jumlah gempa, melainkan dampak kerusakan yang menarik perhatian, terutama tingginya jumlah korban. “Korban jiwa umumnya terjadi karena standar konstruksi yang rendah dan kepadatan suatu wilayah,” kata Earle. “Mantera standarnya adalah gempa bumi tidak membunuh orang, melainkan bangunannya.”
TJANDRA l AP