TEMPO.CO, Bonn - Para ahli astrofisika di University of Bonn (Jerman) and Cardiff University (Wales) telah menyiapkan strategi baru untuk menyaring informasi tentang galaksi di ujung alam semesta. Menggunakan dua superkomputer, mereka mencari tahu proses pembentukan galaksi skala masif pada awal terbentuknya makro kosmos.
Teleskop radio Atacama Large Millimeter/submillimeter Array (ALMA) yang berada di ketinggian 5 ribu meter di Gurun Atacama Cili—salah satu tempat terkering di bumi—diperbantukan untuk mengamati galaksi. “Radiasi karbon netral lebih cocok untuk mengamati galaksi yang sangat jauh,” ujar Padelis Papadopolos, pakar astrofisika dari Cardiff University.
Menurut Papadopulos, sangat sulit mengumpulkan informasi tentang galaksi di ujung alam semesta. Musababnya, kata dia, sinyal dari benda-benda langit sangat cair sehinggga sulit ditangkap. (Baca: Ditemukan Lubang Hitam Raksasa di Galaksi Mini)
Menduga-duga berapa banyak molekul hidrogen yang hadir dalam galaksi, kata dia, sangat menantang. “Molekul hampir tak memancarkan radiasi,” ujar Papadopoulos seperti dikutip dari Sciencedaily, Jumat, 24 Oktober 2014. Tapi, para astrofisika jalan terus untuk melihat bagaimana hidrogen—struktur fundamental untuk bintang baru—terbentuk di ujung kosmos.
Karena itu, para peneliti menggunakan beberapa metode untuk melihat bagaimana molekul hidrogen membentuk galaksi terjauh ini. Pertama, mereka mengukur jumlah karbon monoksida yang lebih mudah untuk ditangkap melalui radio karbon. Selanjutnya, data karbon monoksida yang didapat dikonversi ke hidrogen. “Metode ini memang tak seratus persen benar, tapi ini paling mudah,” kata Papadopoulos.
Nilai yang diukur, kata dia, memungkinkan untuk menghitung estimasi berapa jumlah molekul hidrogen yang hadir. Sayangnya, menurut Papadopoulos, radiasi dari karbon netral hampir seluruhnya bercampur dengan molekul air di atmosfer bumi. Jadi, kurang bisa digunakan dalam penelitian. Namun, dengan ketinggian 5 ribu meter, teleskop ALMA dapat mengambil radiasi antarbintang dari atom karbon.
Menurut perhitungan peneliti, ALMA bisa mendeteksi galaksi jauh yang jaraknya 12 miliar tahun cahaya. “Studi ini dapat membantu memahami asal-usus misterius galaksi,” ujar pakar astrofisika dari University of Bonn, Cristiano Porciani.
Dalam penelitian ini, tim peneliti menggunakan dua superkomputer yang ada di dua universitas dunia, yakni Hector di University of Edinburgh dan Abel di Universitas Oslo. Penelitian ini didukung dan didanai oleh Deutsche Forschungsgemeinschaft (DFG) dalam rangka penelitian khusus area 956. Juga, oleh International Max Planck School of Research. Simak berita tekno lainnya di sini.
AMRI MAHBUB
Berita lain
Ruckus Wireless Luncurkan Access Point Terkecil
BenQ Luncurkan Proyektor Tiga Dimensi Rumahan
Teknologi 4G untuk Transportasi Berbasis Rel
Survei: Perempuan Dominasi Tonton Video Streaming
Main Monopoli LINE Kini Ada Peta Indonesia