TEMPO.CO, Kazakhstan - Hanya dalam empat hari, puluhan ribu antelop (saiga) ditemukan mati tanpa diketahui penyebabnya. Kematian mamalia mirip kijang itu dimulai pada akhir Mei lalu. Hewan bertanduk tegas lurus ke atas yang banyak dijumpai di Kazakhstan tengah ini termasuk binatang yang terancam punah.
Kasus matinya 6o ribu antelop itu terungkap ketika pakar geoekologi, Steffen Zuther, dan timnya tiba di Kazakhstan tengah untuk memantau kelahiran anak dalam satu kawanan antelop. Dokter hewan setempat sudah melaporkan banyak hewan yang ditemukan mati tanpa diketahui penyebabnya.
"Tapi, karena di sana terjadi kematian secara alamiah pada populasi tertentu selama beberapa tahun terakhir, awalnya kami tidak benar-benar khawatir," kata Zuther, koordinator internasional dari Altyn Dala Conservation Initiative, kepada Live Science, 2 September lalu.
Namun, dalam empat hari, seluruh kawanan (60 ribu saiga hewan) telah meninggal. Sebagai dokter hewan dan konservasionis, mereka berusaha membendung kematian massal itu. Mereka juga mendapat kabar soal kematian populasi yang sama dalam kawanan lainnya di Kazakhstan. Pada awal Juni, kasus sekarat massal ini berakhir.
Juni lalu, BBC juga melaporkan kematian antelop itu ditandai dengan gejala depresi, diare, dan keluarnya busa pada mulut. Karena musim melahirkan anak sedang berlangsung, seluruh kawanan antelop betina dan anak sapi yang baru lahir juga mati.
"Mereka menghadapi masalah pernapasan. Mereka berhenti makan dan sangat tertekan. Induk mati sehingga anaknya sangat tertekan. Kemudian mereka mati mungkin satu atau dua hari kemudian," kata Richard Kock dari Royal Veterinary College di London, yang tergabung dalam tim internasional untuk menyelidiki kematian massal saiga.
Saiga antelop adalah spesies yang mampu beradaptasi untuk mengatasi temperatur ekstrem yang ditemukan di padang rumput Asia tengah Kazakhstan. Ukuran mereka sama dengan domba besar. Populasi Antelop telah jatuh berulang kali akibat perburuan hingga hanya 50 ribu ekor setelah jatuhnya Uni Soviet.
Bakteri jelas berperan dalam kematian antelop. Namun bagaimana persisnya mikroba yang biasanya tidak berbahaya itu bisa mengambil nyawa antelop masih misterius. “Luasnya skala kematian mendadak yang begitu cepat menyebar ke seluruh kawanan anak yang baru lahir dan membunuh semua binatang ini belum diamati untuk setiap spesies lain," kata Zuther. "Ini benar-benar di luar perkiraan."
Saiga berperan penting dalam ekosistem padang rumput kering. Pada musim dingin, untuk mencegah pembusukan tanaman utama, hidung antelop membantu memecah bahan organik, mendaur ulang nutrisi dalam ekosistem, dan mencegah kebakaran hutan yang dipicu oleh terlalu banyak tebaran daun di tanah. Hewan-hewan ini juga menjadi makanan lezat untuk predator di padang rumput yang luas
Salah satu hambatan yang muncul, dokter hewan tidak bisa mendapatkan hewan itu sesaat setelah kematian mereka. Peneliti kemudian berspekulasi bahwa berlimpahnya tanaman hijau menyebabkan masalah pencernaan. Spekulasi ini berlanjut bahwa terjadi pertumbuhan bakteri yang berlebihan dalam usus hewan yang berakhir dengan kematian.
Kali ini, peneliti lapangan sudah mengambil sampel rinci lingkungan saiga, batu tempat hewan berjalan, tanah yang dipakai mereka untuk menyeberang, air minum hewan, dan tumbuhan yang mereka makan selama beberapa bulan menjelang kematian massal ini. Para ilmuwan juga mengambil sampel dari kutu dan serangga lainnya yang dimakan saiga untuk menemukan beberapa penyebab yang memicu kematian.
Sampel jaringan mengungkapkan bahwa racun yang diproduksi oleh bakteri Pasteurella dan mungkin Clostridia menyebabkan perdarahan luas pada sebagian besar organ hewan. Tapi Pasteurella yang biasa ditemukan dalam tubuh ternak ruminansia seperti saiga biasanya tidak menimbulkan bahaya, kecuali hewan yang sistem kekebalan tubuhnya sudah lemah.
Analisis genetik sejauh ini hanya memperdalam misteri yang ada karena bakteri yang ditemukan bersifat umum. Kasus kematian massal serupa juga mendera 400 ribu saiga pada 1988. Ketika itu, dokter hewan melaporkan gejala yang sama. Karena saat itu Kazakhstan berada di bawah kekuasaan Uni Soviet, peneliti hanya menyebutkan adanya Pasteurellosis, penyakit yang disebabkan oleh Pasteurella. Penyebab lainnya tidak diinvestigasi.
Sejauh ini, satu-satunya penyebab lingkungan yang mungkin berperan adalah musim dingin yang diikuti dengan musim semi basah. Lalu banyak tumbuhan hijau subur dan air tanah yang dapat memungkinkan penyebaran bakteri secara lebih cepat. “Keadaan ini dengan sendirinya tidak tampak begitu biasa,” kata Zuther.
L LIVE SCIENCE | BBC | AHMAD NURHASIM