TEMPO.CO, Jakarta - Tim Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mendapat kejutan saat meneliti flora dan fauna di Pulau Enggano, Bengkulu, Sumatera. Seekor ular yang lama tak ditemukan selama 80 tahun, berhasil mereka dapatkan di salah satu hutan yang mereka teliti.
“Saya tak menyangka, ular ini ada di belakang saya saat tengah meneliti di pinggiran hutan,” kata ketua tim peneliti Amir Hamidy di Jakarta pada Kamis, 5 November 2015. Sejauh ini, baru satu individu ular Coelognatus enggano ini yang berhasil ia temukan.
C. enggano merupakan spesies ular pemakan tikus, atau rat snake, dengan panjang tubuh dewasa sekitar 1,5-2 meter. Menurut Amir, spesies ular ini pertama ditemukan oleh peneliti Italia, Vinciguera, pada tahun 1837. Jumlah yang terlihat saat itu pun tak banyak, hanya 3 ekor. Setelah penemuan ini, tak terdengar lagi penemuan ular tikus ini.
Lama berselang, nama ular ini kembali muncul. Seorang peneliti asal Belanda, de Jong, menemukan 3 individu pada tahun 1936. Olehnya, spesimen ini diboyong dan dipajang di Museum Zoologi di Bogor. Pelbagai survey di Enggano pun dilakukan untuk mempelajari lebih lanjut tentang binatang melata ini. Sayang, setelah penemuan de Jong, tak ada lagi penemuan C. enggano terdengar. Akhirnya, pada 2015 ini, Amir berhasil menemukan satu individu hidup.
“Keunikan ular ini terletak pada tubuhnya yang polos. Biasanya, ular tikus pasti memiliki corak atau pola tertentu,” kata Amir. Selain itu, ia menemukan ular ini tengah mencari mangsa pada malam hari. Biasanya, ular tikus cenderung aktif waktu siang.
Terkait kelangkaannya, Amir mengatakan ada 3 kemungkinan penyebab. Pertama,pooulasi menurun lantaran jumkah mangsa yang sedikit. “Konsumsi utama mereka adalah tikus, tapi di sini hanya ada dua jenis yang hidup. Teantu mereka sulit mendapat mangsa,” kata dia. Faktor kedua yang mengikuti adalah kerusakan lingkungan yang diakibatkan penebangan hutan ilegal.
Kemungkinan ketiga, adalah masih sedikitnya riset yang dilakukan terhadap ular ini. Para peneliti kesulitan mendapat data tentang di mana populasi ular ini berkumoul, serta berapa jumlahnya. Amir mengakui, sensus ular memang menjadi tantangan sendiri dalam dunia peneliti makhluk hidup. Karena itu, begitu mendapatkan satu individu hidup, Amir langsung mengirimkan datanya ke IUCN.
“Soalnya, kalau dilihat di situs IUCN, ular ini juga statusnya masih data deficient. Jadi sulit juga unetuk menentukan apakah ular ini tergolong langka ataupun terancam punah,” kata dia.
URSULA FLORENE