TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sedang mengembangkan protein interferon alfa-2a yang bermanfaat untuk terapi pengobatan kanker serta hepatitis B dan C.
Hal ini menjadi angin segar bagi dunia kesehatan Indonesia yang selama ini bergantung pada interferon impor yang harganya mahal.
"Indonesia belum bisa menghasilkan interferon sendiri. Padahal, untuk hepatitis B dan C, pemberian interferon bisa tiga kali seminggu selama 24-48 minggu, dengan harga sekali suntikan berkisar Rp 2,5 juta," ujar peneliti LIPI yang juga Wakil Kepala Laboratorium Protein Terapetik dan Vaksin Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, Ratih Asmana Ningrum, di Cibinong, Jawa Barat, Kamis, 19 November 2015.
Belum lagi, Ratih menambahkan, untuk penderita kanker, pemberian interferon bisa satu kali sehari.
Selain mahal, ketergantungan Tanah Air terhadap protein interferon impor membuat ketersediaan protein antikanker dan antivirus ini terbatas.
Karena itulah para peneliti LIPI berupaya keras mengembangkan protein interferon alfa-2a. Bahkan lembaga riset Indonesia ini ingin melompat lebih jauh, yaitu bagaimana meningkatkan efektivitas protein dan melakukan modifikasi demi menurunkan intensitas pemberian obat.
"Modifikasi dilakukan dengan human serum albumin, yang belum pernah dilakukan di dunia. Jadi, misalnya penyuntikan dosisnya tiga kali seminggu, bisa diturunkan menjadi sekali dalam dua minggu," tuturnya.
Riset ini sendiri sudah berjalan selama dua tahun. Protein dikembangkan melalui organisme yeast Pichia pastoris, yaitu sejenis ragi hasil modifikasi.
Namun Ratih tidak dapat memastikan kapan penelitian ini akan selesai dan didistribusikan untuk masyarakat. Ada beberapa kendala yang dihadapi, seperti keterbatasan dana dan hal teknis.
"Kami coba atasi semua permasalahan itu dengan usaha sebaik-baiknya. Jika semuanya lancar, mungkin dalam waktu 8-10 tahun bisa diselesaikan," katanya.
Ratih melanjutkan, proses yang masih harus dilalui sebelum menyatakan protein interferon ini layak diberikan kepada masyarakat di antaranya karakterisasi protein (jika protein sudah berhasil didapat), uji preklinis, uji klinis, dan pendaftaran.
"Kami ingin penelitian ini dapat meningkatkan harapan hidup pasien di Indonesia," tuturnya.
ANTARA