TEMPO.CO, Surabaya - Alat terapi kanker temuan Warsito P. Taruno dinilai terbukti secara ilmiah mampu membunuh sel-sel kanker. Temuan ini dijelaskan dalam disertasi yang berjudul “Mekanisme Kematian Sel Akibat Pajanan Medan Listrik Energi Lemah dengan Frekuensi Menengah” karya doktor alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Sahudi Salim.
Disertasi Sahudi membuktikan secara ilmiah efek pajanan medan listrik voltase rendah dari alat Electro-Capacitive Cancer Therapy (ECCT) yang diciptakan Warsito terhadap kematian tiga macam kultur sel kanker.
“Mekanisme kerja alat ini masuk akal dan aman karena berkaitan dengan sifat kelistrikan di dalam sel,” kata Sahudi saat ditemui Tempo seusai mengajar di RSUD dr. Soetomo Surabaya, Kamis, 3 Desember 2015. ECCT memanfaatkan saat-saat sel kanker sedang membelah, yang kondisinya sangat rentan dan gampang dimatikan.
Sel-sel kanker gagal membuat mikrotubulus yang berperan penting bagi perkembangan sel. Dalam penelitian secara in vitro itu ia memakai sel Hela, sel Kanker Rongga Mulut, dan sel Mesenkim Sumsum Tulang. Ketiga sel dibagi menjadi dua kelompok dengan masing-masing delapan replikasi, yaitu kelompok perlakuan yang dipajan dengan ECCT selama 24 jam dan kelompok kontrol.
Setelah 24 jam, jumlah sel hidup dan sel mati dihitung dengan menggunakan pewarnaan Tryphan Blue, serta diperiksa ekspresi protein TubulinA, Cyclin B, p53, dan Ki-67. “Ternyata sel kanker mati secara signifikan, sedangkan nonkanker seperti sel-sel kontrol lainnya yang dibutuhkan tubuh, masih hidup.” Bahkan, protein sel Ki-67 yang diidentikkan dengan sel kanker berhenti dalam kondisi mitosis.
Sahudi mengakui ECCT tak menjamin sepenuhnya keselamatan sel normal. Namun ia mengingatkan terdapat perbedaan mendasar antara sel normal dan sel kanker. Sel normal tak senantiasa membelah diri, bahkan dalam kurun waktu 24 jam. Sebaliknya, sel kanker membelah diri secara cepat alias abnormal kurang dari 24 jam.
Untuk itu, meski terbukti membunuh kanker, alat ECCT belum sempurna. Alat ini, kata Sahudi, memerlukan pendampingan dari dokter. “Kapan alat ini dipakai, kapan dihentikan, dan seterusnya.”
Selain itu, untuk perkembangannya, dokter dapat mengkaji lebih jauh di titik-titik mana saja ECCT dapat diletakkan. Dengan begitu, temuan Warsito itu dapat optimal dalam mematikan sel kanker. “Karena Pak Warsito bukan dokter, kemungkinan tidak memahami ke mana saja arah sel-sel kanker dapat menyebar,” kata Sahudi.
Dokter spesialis bedah kepala dan leher itu mengakui bahwa ia sendiri telah lama menerapkan terapi ECCT kepada pasiennya. Ia menganjurkan beberapa pasiennya menggunakan ECCT sebagai terapi tambahan. “Tentu saya memilih-milih pasien yang mana, tidak sembarangan.” Ia juga menjelaskan bahwa alat ini, misalnya pada pasien kanker stadium lanjut, hanya mengurangi nyeri. Tidak sedikit yang akhirnya sembuh.
Sahudi meminta agar kalangan dokter bersikap lebih terbuka dan mau memperluas wawasan. Polemik soal apakah kanker menjadi semakin parah akibat penggunaan ECCT, sebaiknya disikapi dengan jernih. Ia mengajak kalangan dokter berintrospeksi melihat fenomena banyaknya pasien yang berduyun-duyun mendatangi Klinik Riset Terapi ECCT. “Banyak di antara pasien itu yang gagal berkomunikasi dengan dokter. Ini artinya dokter gagal memberikan rasa aman kepada mereka.”
Ia juga menyarankan pemerintah agar tidak mematikan penelitian Warsito, tetapi memberikan fasilitas khusus. “Jangan ditolak dengan kasar, tapi jadikan alat ini sebagai unggulan. Cepat atau lambat, teknologi terapan ECCT itu akan ditemukan dan digunakan oleh negara lain.”
ARTIKA RACHMI FARMITA