Bolak Balik Disapu Tsunami Erupsi Gunung Krakatau, Ini Cerita dari Pulau Sebesi
Reporter
Moh Khory Alfarizi
Editor
Zacharias Wuragil
Jumat, 27 Agustus 2021 19:38 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Sejarah mencatat erupsi Gunung Krakatau pada 27 Agustus 1883 atau 138 tahun lalu memicu tsunami besar. Yang paling baru, tsunami juga terjadi di Selat Sunda disebabkan aktivitas vulkanik Anak Krakatau pada 22 Desember 2018. Keduanya sama, menyapu Pulau Sebesi yang terletak hanya 20 kilometer dari Gunung Krakatau.
Peneliti Pusat Penelitian Kewilayahan LIPI, Devi Riskianingrum, membeberkan penelitiannya tentang Krakatau dalam Pandangan Masyarakat Sebesi: Antara Berkah dan Bencana. Menurut dia, setiap sapuan tsunami itu menyebabkan pulau lumpuh dan terisolasi. Hingga pada 2018 lalu pandangan masyarakat Pulau Sebesi pun berubah.
“Dari yang awalnya menganggap aktivitas vulkanik sebagai hal yang biasa dan tidak membahayakan, menjadi membuat cemas atau khawatir,” ujar Devi dalam acara virtual mengenang peristiwa letusan Gunung Krakatau, Jumat, 27 Agustus 2021.
Devi mengungkapkan, masyarakat Pulau Sebesi sebelumnya mengamati geliat Anak Krakatau sebatas pertanda bahwa gunung itu hidup. Gunung api diakrabi karena dianggap tidak membahayakan, dan setiap geliat erupsi selayaknya ‘batuk’ pada anak manusia.
Namun, terlepas dari ketakutan yang mulai tumbuh, masyarakat Sebesi menolak meninggalkan tanah pulau kelahiran mereka tersebut. Satu di antara alasannya, selama ini Pulau Sebesi menjadi salah satu unggulan destinasi wisata bahari oleh Pemerintah Provinsi Lampung.
“Pantai yang memiliki pemandangan yang indah dan berhadapan langsung dengan Gunung Anak Krakatau yang terkenal aktif justru menjadi salah satu unggulan Sebesi,” tutur Devi.
Kepala Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Herry Jogaswara, menerangkan, edukasi masyarakat dilakukan untuk memperkaya pengetahuan lokal, khususnya terkait Gunung Krakatau. Menurutnya, hal itu bisa dijadikan sebagai upaya mitigasi atu pengurangan risiko bencana.
“Kondisi geografis menjadikan Indonesia berpotensi sekaligus rawan bencana seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir, dan tanah longsor,” katanya.
Herry melanjutkan, pengelolaan bencana harus berbasis struktural dan non struktural. Struktural antara lain teknologi peringatan dini, alat pendeteksi bencana. Sedangkan, non struktural merupakan suatu pendidikan kebencanaan yang memberikan pertolongan pertama kali saat bencana itu terjadi.
Menurut Herry, masyarakat Indonesia yang berada di wilayah rawan bencana seperti di Pulau Sebesi dekat Gunung Krakatau harus diedukasi dan diberikan materi yang berkaitan dengan kebencanaan. “Pendidikan bencana ini juga sifatnya kontekstual dan harus selalu diperbarui,” ujar dia menambahkan.
Baca juga:
Peringatan BMKG: Tsunami Selat Sunda Bisa Menyapu sampai Pantai Jakarta