TEMPO.CO, Jakarta - Perhimpunan Pelajar Indonesia di Delft (PPI Delft) angkat suara atas tindakan yang dilakukan Dwi Hartanto. Pengurus PPI Delft dalam surat resmi tertanggal 4 Oktober 2017 mengutuk pembohongan publik yang dilakukan mahasiswa doktoral asal Indonesia yang sedang belajar di Faculty of Electrical Engineering, Mathematics and Computer Sciences, Technische Universiteit Delft itu.
"PPI Delft mengutuk keras segala bentuk pembohongan publik yang pada khususnya yang terjadi di bidang akademik," tulis Pengurus PPI Delft dalam laman situsnya. Meski begitu, pengurus PPI Delft menyatakan tetap menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah hingga dugaan tersebut telah diverifikasi oleh pihak TU Delft dan/atau Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Belanda (KBRI Den Haag).
Selain itu, PPI Delft mengimbau kepada seluruh anggota PPI Delft untuk menjunjung tinggi kode etik akademik demi menjaga integritas pribadi, lembaga, bangsa, dan negara. Kebohongan Dwi Hartanto, mahasiswa doktoral di TU Delft Belanda, terungkap. Dia mengaku sebagai calon profesor bidang aeronautika. "Calon profesor muda (28 tahun) pengganti Habibie," begitu media massa menyebutnya.
Namanya naik daun dalam dua tahun terakhir setelah diberitakan berbagai media elektronik maupun televisi setelah mengaku diminta banyak pihak untuk mengembangkan pesawat jet tempur generasi keenam. Sosok Dwi Hartanto ditulis secara manis oleh berbagai media nasional sebagai doktor muda (28 tahun) calon profesor bidang roket.
Baca: Apakah Dwi Hartanto Mengidap Gejala Mythomania?
Dwi dianggap "pahlawan" Indonesia di negeri Belanda. Faktanya, Dwi lahir pada 13 Maret 1982. Artinya, dia sudah berumur 35 tahun, bukan 28 tahun seperti yang diberitakan. Dia pun sempat mengaku bahwa ditawari menjadi warga negara Belanda, tapi ditolaknya.
Namun, semua pengakuan itu kebohongan belaka. Dalam dokumen sepanjang lima halaman yang dimuat di situs ppidelft.net (Persatuan Pelajar Indonesia di Delft), Dwi mengaku berbohong atas semua informasi terkait dirinya yang diberitakan media nasional dan media sosial dalam tiga tahun belakangan ini. Surat klarifikasi tersebut tertanggal 7 Oktober 2017.
Dalam dokumen klarifikasinya, Dwi menyatakan bukan lulusan Tokyo Institute of Technology di Jepang. Melainkan lulusan strata-1 dari Institut Sains dan Teknologi AKPRIND Yogyakarta, Fakultas Teknologi Industri, Program Teknik Informatika, yang lulus pada 15 November 2005.
Setelah dari AKPRIND, Dwi mengambil program master di TU Delft, Faculty of Electrical Engineering, Mathematics, and Computer Science, dengan tesis "Reliable Ground Segment Data Handling System for Delfi-n3Xt Satellite Mission".
Saat ini, Dwi masih menjalani program doktoral di grup riset Interactive Intelligence, Departement of Intelligent Systems di fakultas yang sama di Delft di bawah bimbingan Prof. M.A. Neerincx dengan judul disertasi "Computer-based Social Anxiety' Regulation in Virtual Reality Exposure Therapy". "Informasi mengenai posisi saya sebagai post-doctoral apalagi assistant professor di TU Delft adalah tidak benar," tulis dia.
Baca: Ini 5 Dosa Dwi Hartanto
Simak artikel lainnya tentang kebohongan Dwi Hartanto hanya di kanal Tekno Tempo.co.