Iklan
TEMPO Interaktif, Magelang:Perempuan tua itu sedang menjemur sisa nasi di belakang rumahnya yang sepi. Raut kesedihan masih terpancar di wajah Ngadinah, 60 tahun, yang berkeriput. Sebuah petaka baru saja berakhir pada akhir bulan lalu.Ngadinah kehilangan suami, kakak, adik, dan seorang keponakan, hanya berselang dua hari. Sebuah wabah penyakit yang menyerang tempat tinggalnya di Desa Kanigoro, Kecamatan Ngablak, di Magelang, Jawa Tengah, membuat rumah itu kehilangan sebagian besar penghuninya. Tak hanya rumah itu, dua dusun-Beran dan Pete-juga kehilangan sejumlah penduduknya akibat penyakit yang masih diliputi misteri itu. Dalam kurun waktu lima hari (Sejak hari Minggu 22 Juli) sudah jatuh 33 korban. Sebanyak 10 orang di antaranya meninggal dunia. Para korban jatuh dengan gejala yang nyaris sama. Mereka mengalami mual, badan lemas, diare, dan muntah-muntah, sebelum tak sadarkan diri. Ada yang meninggal dunia, ada pula yang dilarikan ke rumah sakit dan mendapat perawatan. Penyakit itu menyerang dalam tempo cepat. Ngadinah bercerita, pada hari minggu itu, dia dan suaminya masih sempat mensalatkan Parsih, 61 tahun, kakak kandungnya yang terserang penyakit. Tak sampai 12 jam kemudian, giliran sang suami, Samsudi, 56 tahun, yang meninggal dunia. Setelah itu, berturut-turut adiknya, Surami, 37 tahun, dan keponakannya, Musi, 36 tahun, yang meninggal dunia dengan gejala serupa. Petaka yang juga dialami warga dusun yang lain itu, sontak membuat gempar, tak hanya di Kanigoro, tapi sampai ke seluruh negeri. Departemen Kesehatan pun menurunkan timnya untuk meneliti sebab musabab peristiwa tersebut. Tak ketinggalan para peneliti dari berbagai lembaga. Adapun petugas medis sibuk mengurusi para korban yang-syukurlah!-tak lagi berjatuhan. Pekan lalu, Menteri Kesehatan sempat melontarkan dugaan bahwa wabah penyakit di Kanigoro disebabkan oleh tempe gembus yang tercemar mikroba beracun bernama Pseudomonas cocovenenans. Bakteri ini umumnya ditemukan pada tempe bongkrek. Pernyataan ini serta merta ditampik para penduduk desa. Pasalnya, tak semua korban yang jatuh telah mengkonsumsi penganan yang terbuat dari ampas perasan kedelai untuk membuat tahu itu. Dr Ari Fahrial Syam, seorang spesialis dari Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, mengatakan, gejala klinis seperti mual dan muntah hebat, disertai peningkatan enzim lever sampai angka ribuan, kadar gula darah menurun drastis, dan penurunan kesadaran, menandakan bahwa para korban telah mengalami kegagalan fungsi hati yang akut (Accute Liver Failure)."Bila tidak segera ditangani, angka kematiannya mencapai 60 sampai 70 persen," ujar dokter yang berpraktek di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta ini, kepada Tempo pada Minggu lalu. Tapi mengingat adanya temuan pada otopsi dua korban, yakni pembengkakan di berbagai organ seperti otak, pankreas, liver, usus rusak berat. "Maka itu disebut gagal organ multiple," katanya. Ari mengatakan, kegagalan fungsi organ memang bisa disebabkan keracunan bakteri Pseudomonas cocovenenans. Bakteri ini menjadi racun yang mematikan bila bersentuhan dengan asam lemak di dalam tubuh. Bakteri itu, kata Ari, hidup di ampas kelapa dan menghasilkan racun bernama asam bongkrekic. Berdasarkan informasi yang dihimpun Tempo dari berbagai sumber, diketahui bahwa bakteri ini menyerang mitokondria, yaitu sumber energi di tingkat sel. Racun itu berdampak pada mekanisme ATP (adenosine triphosphate)-ADP (adenosine diphosphate) translocase, yakni mekanisme perubahan ATP menjadi ADP dan sebaliknya selama proses pernafasan di sel. ATP adalah nukleotida yang multifungsi yang mengantar energi kimia di dalam sel untuk keperluan metabolisme. ATP menghasilkan energi selama proses respirasi di dalam sel dan dikonsumsi oleh banyak enzim untuk keperluan biosintesa sampai pembelahan diri. Untuk menghasilkan energi bagi seluruh sel di dalam tubuh manusia dalam melaksanakan kegiatannya, maka ATP perlu keluar dari mitokondria. Racun bongkrek membuat ATP gagal keluar dari mitokondria, yang pada akhirnya membuat sel-sel tubuh manusia kehilangan sumber tenaganya."Sel itu membentuk jaringan, bila sel rusak maka jaringan juga rusak," kata Ari. Bila serangan meluas, maka fungsi organ di dalam tubuh pun mengalami kegagalan.Tapi, menurut Ari, bakteri itu belum tentu berasal dari tempe gembus. "Bisa saja dari air yang tercemar, nasi jagung, dan sebagainya," ujarnya. Oleh sebab itu, Ari meminta pemerintah tak buru-buru melansir bila belum ada kesimpulan yang bisa dipertanggungjawabkan. "Malah bikin tambah runyam," ucapnya.Menurutnya, tempe gembus adalah sumber protein nabati alternatif bagi warga miskin yang tak sanggup membeli daging, susu, atau telur. "Kalau ada isu disebarkan, masyarakat akan ragu mengkonsumsi, sumber protein murah jadi tak ada lagi," katanya.Ari mengatakan, pada saat memeriksa pesakitan perlu mempertimbangkan masalah daya tahan tubuh korban, kondisi lingkungan, dan keberadaan agen pembawa penyakit/kuman. "Bila daya tahan baik, lingkungannya baik, agen bisa dihindari, tapi kalau agen berlebihan juga bisa terinfeksi," ujarnya. Adapun Kepala Pusat Penelitian Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) L. B. Kardono, mengatakan tempe gembus tak berbahaya bila tak dicampur dengan ampas kelapa. Bakteri Pseudomonas memang hidup di ampas kelapa yang mengandung lemak. Tapi bila bakteri ditemukan di tempe yang tak dicampur ampas kelapa, ada kemungkinan bakteri itu sudah bermutasi. "Jadi bisa hidup alias makan tanpa lemak minyak kelapa," ujarnya kepada Tempo pada Senin lalu.Kardono mengatakan, pada proses pembuatan tempe sebetulnya bakteri itu akan mati pada saat ragi melakukan fermentasi. "Bila tidak, mestinya tempe itu tidak akan jadi," ujarnya. Ahli pangan dari Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Prof Dr Ir Mary Astuti dan ahli mikrobiologi pangan UGM, Prof Dr Endang Sutriswati Rahayu, malah meragukan penyakit itu disebabkan bakteri Pseudomonas. Keduanya sepakat, penyakit itu timbul lantaran lingkungan desa yang sanitasinya buruk. Warga masih berinteraksi erat dengan binatang peliharaan tanpa disertai budaya mencuci tangan dengan sabun sebelum makan. "Dari pengecekan di lapangan dan juga tempe gembus yang dijual di pasar daerah tersebut sangat kecil adanya bakteri ini," kata Mary Astuti.Mary mengatakan, tempe gembus yang dijual di pasar sekitar Desa Kanigoro tidak menggunakan ampas kelapa. Dia sependapat dengan Kardono. "Kalau ada asam bongkrek, tempenya tidak jadi."Apalagi, tempe gembus yang dimakan warga berasal dari Kecamatan Grabag yang berbatasan dengan Kecamatan Ngablak. Mestinya, warga Grabag pun ikut menjadi korban.Mary curiga penyakit itu disebabkan bakteri E-coli dari spesies E-colihermorapie yang muncul akibat sanitasi buruk. Bakteri patogen ini terdapat pada kotoran ternak. "Tapi untuk kepastiannya, memang harus dilakukan penelitian secara intensif," kata dia. Tapi bantahan juga muncul dari warga. Sanitasi buruk, kata Kepala Desa Kanigoro Gadang Rintoko, sudah terjadi selama bertahun-tahun. Selama itu tidak ada musibah. "Beberapa waktu lalu memang pernah terjadi diare, tapi tidak sampai meninggal dunia," ujarnya. DEDDY SINAGA | SYAIFUL AMIN (MAGELANG)