TEMPO.CO, Jakarta - Mengikuti implementasi di beberapa negara lainnya, Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah memesan tiga juta butir obat malaria, Chloroquine. Obat ini adalah satu di antara obat eksperimental yang digunakan melawan pandemi COVID-19.
Presiden Jokowi telah menegaskan kalau obat malaria itu bukan obat penyakit virus corona 2019. Itu sebabnya, dia berpesan, masyarakat tidak bisa ikut menggunakannya secara bebas terkait wabah COVID-19 yang sedang terjadi.
Pesan itu sebelumnya telah disampaikan beberapa ahli atau dokter. Terbaru adalah literasi dari tim peneliti Profesor Nidom Foundation (PNF), Surabaya, Jawa Timur. Mereka memaparkan efek racun dari penggunaan jangka lama dan dosisi tinggi dari Chloroquine dan juga Hydroxychloroquine (obat rheumatoid arthritis).
Literasi itu menyebut overdosis dua obat itu berbahaya karena dapat menyebabkan kardiotoksisitas pada pasien dengan disfungsi hepatik (gangguan hati) atau disfungsi renal (gangguan ginjal) dan imunosupresi. Beberapa studi yang dilakukan, misalnya, menunjukkan angka mortalitas 10-30 persen yang disebabkan oleh overdosis Chloroquine pada usia dewasa.
“Menjadi catatan penting para pengambil kebijakan untuk mengevaluasi rekomendasi pemilihan obat CQ (Chloroquine) dan HCQ (Hydroxychloroquine) serta dosis yang tepat dalam penggunaan terapi COVID-19 agar tidak menimbulkan efek samping yang justru memperberat kondisi pasien,” ujar Ketua Tim Riset Corona dan Formulasi Vaksin di PNF Chaerul Anwar Nidom, Senin 23 Maret 2020. .
Literasi itu menambahkan, belum ada data yang tersedia dari Randomized Clinical Trials (RCTs)—proses uji yang umum digunakan pada uji coba obat--untuk menginformasikan pedoman klinis tentang penggunaan, dosis, atau durasi untuk tujuan pengobatan infeksi COVID-19.
Obat malaria Chloroquine yang didapat dari apotek, Kamis 19 Maret 2020. Sebagian masyarakat memburunya karena dianggap bisa digunakan kala mengalami gejala infeksi virus corona COVID-19. ISTIMEWA
"Beberapa dokter di Amerika telah melaporkan penggunaan dosis HCQ yang berbeda,” kata Nidom yang juga Guru Besar Biologi Molekuler Universitas Airlangga itu.
Dosisnya yaitu 400mg (2xsehari) pada hari pertama, kemudian setiap hari selama 5 hari; 400mg (2xsehari) pada hari pertama, lalu 200mg (2xsehari) selama 4 hari; 600mg (2xsehari) pada hari pertama, lalu 400mg setiap hari pada hari ke 2-5.
Sebelumnya, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas (FKUI) Ari Fahrian Syam juga memperingatkan masyarakat jangan sembarangan mengkonsumsi Chloroquine. Ari menerangkan, obat anti malaria itu merupakan obat keras, tidak seperti paracetamol dan obat yang dijual di warung.
“Itu kan masih dalam pengujian, obat itu harus dengan resep dokter,” ujar dia saat dihubungi melalui sambungan telepon, Jumat, 20 Maret 2020.