TEMPO.CO, Jakarta - Varian baru virus corona Covid-19 yang ditemukan di Inggris memiliki tingkat penularan yang cukup tinggi. Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, mengatakan varian baru 70 persen lebih menular daripada varian lainnya sehingga dilabeli media setempat sebagai supercovid.
Menanggapi varian baru virus corona itu, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Ari Fahrial Syam mengatakan varian itu belum ditemukan di Indonesia. Pada prinsipnya, kata dia, data virus tersebut diambil dari pemeriksaan next generating sequencing.
“Terus terang kami belum menemukan di Indonesia...dan belum melakukan pemeriksaan itu,” ujar dia melalui sambungan telepon, Rabu, 23 Desember 2020.
Namun, guru besar bidang ilmu penyakit dalam itu menyarankan, kuncinya adalah pemerintah harus melakukan pembatasan ketat. “Jadi orang dari inggris tidak bisa masuk. Bukan peringatan travel warning lagi tapi larangan travel ban,” kata Ari.
Lulusan master biologi molekuler dari University of Queensland, Australia, itu juga sudah mengetahui bahwa berdasarkan hasil dari analisa yang ada, virus mutan di Inggris itu mempunyai tingkat infeksi yang tinggi. Tapi, menurut dia, masih perlu dibuktikan bagaimana karakter virusnya.
“Tapi saya dengar juga kata varian virus corona itu masih bisa ditangani dengan vaksin yang ada,” kata Ari menambahkan.
Dihubungi terpisah, Guru Besar Biologi Molekuler dari Universitas Airlangga, Chairul Anwar Nidom, mengaku sedang melakukan penelusuran mengenai varian baru virus corona itu. Dia dan timnya masih mencari tahu asal virus apakah dari virus corona yang sudah ada atau muncul baru.
Baca juga:
Selain di Inggris, Varian Baru Virus Corona Menyebar Cepat di Afrika Selatan
“Karena kalau dari Covid-19 yang selama ini, ada kemungkinan ini akibat dari reaksi virus terhadap vaksinasi tapi ini masih hipotesis. Tolong tunggu beberapa hari,” ujar Direktur Professor Nidom Foundation (PNF) itu melalui pesan WhatsApp, Rabu.