TEMPO.CO, Jakarta - Pesawat Sriwijaya SJ 182 jatuh pada Sabtu, 9 Januari 2020. Pesawat Boeing 737-500 itu lepas landas dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng, untuk menuju Bandara Supadio, Pontianak, pada pukul 14.36 WIB dan hilang kontak beberapa menit setelahnya.
Baca:
Cerita Penumpang Pesawat Alami Turbulence Hebat Bersamaan Sriwijaya SJ182 Jatuh
Penasihat Eksekutif Asosiasi Pilot Garuda Kapten Shadrach Maruasas Nababan menjelaskan kaitan cuaca dan jatuhnya pesawat tersebut.
“Kalau melihat laporan satelit, ada gambarnya sudah beredar, cuaca tidak menunjukkan pengaruh terhadap jatuhnya Sriwijaya Air SJ182,” ujar dia saat dihubungi, Senin, 11 Januari 2021.
Berdasarkan kronologi dari Kementerian Perhubungan pesawat Sriwijaya SJ 182 take off dari Bandara Soekarno Hatta menuju Pontianak pada pukul 14.36 WIB. Pada pukul 14.37 WIB melewati 1.700 kaki dan melakukan kontak dengan Jakarta Approach. Pesawat diizinkan naik ke ketinggian 29.000 kaki dengan mengikuti Standard Instrument Departure.
Pukul 14.40 WIB, Jakarta Approach melihat pesawat Sriwijaya Air tidak ke arah 075 derajat melainkan ke Barat Laut (North West), oleh karenanya ditanya oleh ATC untuk melaporkan arah pesawat. Tak lama kemudian, dalam hitungan detik, pesawat hilang dari radar. Manajer operasi langsung berkoordinasi dengan: Basarnas, Bandara tujuan, dan instansi terkait lainnya.
Penjelasan Shadrach juga senada dengan tim peneliti dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Dalam analisa dinamika atmosfer yang dilakukan menunjukkan cuaca berawan di titik lokasi pesawat Sriwijaya SJ-182. Ada sistem konveksi udara yang tumbuh di lokasi tersebut, di sekitar Pulau Laki, Kepulauan Seribu.
"Terdapat konvergensi angin dari utara dan barat di permukaan (10 meter) yang mengintrusi kelembapan dan menumbuhkan sistem konveksi baru dari Laut Jawa ke utara Jakarta," bunyi di antara hasil analisis itu yang dibagikan LAPAN dalam akun resmi media sosialnya, Minggu 10 Januari 2021.
Analisa dari skala yang lebih luas menyebut adanya vorteks Borneo dan angin baratan kuat dari Samudera Hindia berkecepatan 7-8 meter per detik. Kecepatan itu lebih kuat dari umumnya angin monsun baratan yang mendekati 3 meter per detik.
Meski begitu, cuaca saat itu tak tergolong ekstrem. Ini seperti keterangan tambahan yang disampaikan Kepala LAPAN Thomas Djamaluddin dengan menyertakan citra satelit berisi rekaman liputan awan dan prakiraan hujan ekstrem di lokasi yang sama pada Sabtu, pukul 15.00--pesawat Sriwijaya hilang kontak Pukul 14.40 WIB.
"Tidak ada kondisi awan atau hujan ekstrem di titik kejadian," kata Thomas sambil menambahkan kondisi angin dan dinamika atmosfer secara lebih rinci masih dianalisis oleh tim peneliti di LAPAN. "Dinamika atmosfer ini mempengaruhi pesawat yang melintas, tetapi belum tentu menjadi penyebab jatuhnya pesawat," katanya lagi.
Sementara, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah merekam data cuaca saat jatuhnya pesawat tersebut. Data tersebut telah dilaporkan kepada Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT). Namun, BMKG belum bersedia mengungkapkan laporan tersebut.
"Silakan ke KNKT, infonya di sana semua," kata Kepala Humas BMKG Akhmad Taufan Maulana melalui pesan WhatsApp, Senin, 11 Januari 2021.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati juga belum bersedia merilis hasil pantauan data cuaca tersebut. Tapi sejak Oktober 2020, dia menyampaikan bahwa BMKG memprediksi puncak musim hujan akan terjadi pada Januari dan Februari 2021. "Saat ini tercatat sebagian besar wilayah Indonesia, yaitu 93 persen dari 342 Zona Musim telah memasuki musim hujan," kata Dwikorita.
Sementara, Deputi Bidang Klimatologi Herizal juga mengatakan sebagian besar wilayah terutama Jawa, Bali, Sulawesi Selatan hingga Nusa Tenggara saat ini telah memasuki puncak musim hujan. Kondisi ini diperkirakan akan berlangsung hingga Februari 2021.
“Kami meminta masyarakat dan seluruh pihak untuk terus mewaspadai potensi cuaca ekstrem tersebut. Cenderung meningkat di dalam periode puncak musim hujan ini," kata Herizal.