TEMPO.CO, Yogyakarta - Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) Hartono Prawira Atmadja mengatakan penggunaan lahan gambut untuk keperluan budi daya berorientasi ekonomi harus sesuai dengan sifat-sifat atau karakter spesifik lahan itu. Di antara komoditas yang cocok dengan karakter gambut adalah tanaman kenaf.
Baca:
Kebakaran Lahan Gambut Ancam Rumah Warga Kubu Raya
Lahan gambut selama ini diketahui sebagai tanah marginal yang tidak terlalu subur, namun punya fungsi sangat penting bagi kelestarian lingkungan, yaitu sebagai penyimpan karbon terbesar setelah hutan tropis.
Sayangnya, akibat salah dalam pengelolaannya untuk budi daya, keberadaan lahan gambut Indonesia kian terancam.
Puncak kesalahan pengelolaan itu menyebabkan terjadinya kebakaran hebat lahan gambut pada 2015 silam hingga mendorong Presiden Joko Widodo pada 2016 membentuk lembaga khusus, yakni BRGM untuk mempercepat restorasi lahan gambut di tujuh provinsi prioritas.
"Lahan gambut kita kini rusak karena praktik pengelolaannya menyalahi kodrat," ujar Hartono saat berbicara dalam webinar bertajuk "Temu Bisnis Kenaf" yang digelar Kampus UGM bersama Dewan Serat Indonesia serta BRGM pada Kamis, 18 Februari 2021.
Hartono mengatakan selama ini praktek pengelolaan lahan gambut lebih banyak dikeringkan untuk membudidayakan komoditas-komoditas yang sebetulnya tidak begitu cocok di lahan gambut.
Komoditas yang tidak cocok dengan gambut itu punya nilai ekonomi yang menjanjikan di pasar, sehingga tetap dipaksakan ditanam, di antaranya komoditas kelapa sawit dan karet.
Padahal untuk mempertahankan kelestariannya, lahan gambut sesuai sifatnya harus selalu basah dan tergenang air. Namun dengan komoditas yang dipilih, lahan itu dipaksa dikeringkan dengan cara dibuatkan kanal-kanal di lahan itu, sehingga ketika air hujan turun dan harusnya menggenangi jadi terbuang dan tidak tersimpan sebagai cadangan keberlangsungan lahan itu saat kemarau.
"Pemanfaatan lahan gambut harus sangat hati-hati dan dalam regulasi yang kita miliki, hanya gambut dengan fungsi budi daya yang bisa kita manfaatkan, sementara sisanya harus kita lindungi," ujar Hartono.
Hartono mengakui tak banyak komoditas yang bisa dimanfaatkan sembari menjaga kelestarian gambut agar tetap basah itu. Namun sejumlah komoditas alternatif yang cocok dengan karakter gambut saat ini terus dikaji.
Salah satunya tanaman kenaf (Hibiscus cannabinus) yang dikenal dapat menghasilkan serat mirip dengan yute dan rosela.
Ketua Departemen Teknologi Hasil Hutan Fakuktas Kehutanan UGM Sigit Sunarta yang menjadi moderator dalam webinar itu menuturkan sebagai tanaman asli Afrika yang menyebar ke Asia Selatan pada zaman kolonial Belanda tahun 1900-an. Kenaf dibawa pertama kali oleh kolonial lalu ditanam di Aceh, Sumatera, dan Jawa.
Karena memiliki adaptabilitas yang bagus, tanaman ini bisa tumbuh dan berkembang biak di Indonesia dengan kegiatan pemuliaan tanaman yang intensif pada tiga dekade terakhir ini.
Tanaman ini bahkan sudah bisa ditanam dan menghasilkan pada lahan dengan karakteristik unik seperti lahan yang ekstrem keasamannya seperti lahan gambut.
"Hasil utama tanaman ini adalah serat alam yang memiliki karakteristik panjang berat rata-rata 2.740 mikrometer atau lebih panjang dari serat kayu, dan memiliki diameter rata-rata 20 mikrometer," kata dua.
Hanya saja, ujar Sigit, sejak mulai dikembangkan pemerintah tahun 1970 untuk fokus produksi karung sebagai hasil pertanian rakyat, mulai awal tahun 2000-an tanaman ini mulai kalah bersaing dengan komoditas plastik sebagai bahan karung di pasaran.
Kepala Sub Direktorat Industri Hasil Perkebunan Non Pangan Kementerian Perindustrian Lila Harsyah Bakhtiar dalam kesempatan itu mengatakan bahwa kenaf atau Hibiscus cannabinus ini, selain digunakan untuk bahan membuat karung goni, karpet, tali, geotekstil, dan kerajinan tangan sebenarnya juga telah dipakai pabrikan mobil seperti Toyota sebagai bahan baku komponen interior.
Namun di satu sisi, komoditas yang masa panennya cukup cepat 4-5 bulan itu, ketersediaannya masih sangat minim. "Pemenuhan kebutuhan bahan baku dalam negeri itu masih 50 persen sehingga masih ada impor," kata dia.
Kenaf sendiri dalam kebutuhan industri termasuk dalam kategori serat panjang meski serat batangnya termasuk serat pendek.
Kementerian Perindustrian melalui Balai Besar Pulp dan Kertas juga telah memulai penelitian tentang kenaf ini. Salah satunya menemukan keunggulan kenaf ini mempunyai kadar holo selulosa dan alfa selulosa yang sesuai, sehingga jika dipakai sebagai bahan baku industri, kebutuhan bahan kimianya bisa ditekan.
Perkembangan budi daya kenaf di Indonesa semakin menurun. Hal tersebut terutama karena lahan untuk kenaf harus berkompetisi dengan tanaman pangan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pengembangan kenaf diarahkan ke lahan-lahan suboptimal, seperti lahan gambut.
PRIBADI WICAKSONO