TEMPO.CO, Jakarta - Ahli Patologi Klinik Universitas Sebelas Maret, Tonang Dwi Ardyanto, memberi gambaran bagaimana proses pembuatan vaksin dari sel dendritik untuk terapi kanker. Seperti diketahui, teknik ini diadopsi untuk melawan SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19, oleh tim riset Vaksin Nusantara yang dipimpin eks Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto.
Yang mengejutkan dari paparan Tonang adalah suntikan ulangan vaksin dari sel dendritik mungkin dilakukan seumur hidup. Padahal, dia mengungkapkan, biaya terapi kanker ini sangat mahal. Dia menyebut contoh satu perusaaan di Jepang yang mengembangkannya dan menetapkan biaya sekitar 2 juta Yen untuk sekali pemberian satu set terapi pada seorang pasien.
“Kurs 1 Yen saat ini Rp 133. Berarti sekitar Rp 275 jutaan. Itu untuk vaksinasi berbasis sel dendritik pada kanker,” kata Tonang dalam grup WhatsApp Liputan Covid-19, Minggu, 18 April 2021. Pernyataan tentang kisaran biaya ini senada dengan yang pernah disampaikan epidemiolog di Griffith University, Australia, Dicky Budiman.
Tonang menjelaskan bahwa dalam terapi sel dendritik, darah diambil dari pasien itu sendiri, kemudian dibiakkan secara khusus, menggunakan reagen khusus, sampai dapat ditemukan sel dendritik. Kemudian, dilakukan pajanan atau paparan terhadap antigen atau protein dari sel-sel kanker. Setelah 'direkam' oleh sel dendritik, lalu disuntikkan kembali ke pasien itu sendiri.
Harapannya adalah sel dendritik dengan rekaman antigen sel kanker itu akan memicu daya tahan atau sistem imun terhadap sel kanker yang diderita. “Jadi penentunya pada antigen yang digunakan itu. Tapi, beda kanker, beda pula antigennya,” kata peraih gelar PhD dari Tottory University, Jepang, itu.
Bahkan, untuk kanker yang sama jenisnya, tapi kalau beda orang, terkadang harus beda pula antigennya. Tujuannya, antigen didapatkan yang benar-benar spesifik terhadap kanker yang diderita, diambil langsung dari sel-sel kanker pasien itu sendiri. Di sinilah muncul kemungkinan kebutuhan penyuntikan seumur hidup karena, setiap setelah disuntikkan, harus dilakukan evaluasi untuk mengukur efektivitasnya.
“Tidak selalu langsung berhasil. Bila perlu, dilakukan suntikan ulangan, bisa seumur hidup sampai tercapai efek yang diharapkan,” tutur Tonang.
Politikus senior Partai Golkar Aburizal Bakrie menerima penyuntikan vaksin sel dendritik SARS-CoV-2 atau Vaksin Nusantara di RSPAD Gatot Subroto Jakarta, Jumat, 16 April 2021. Penyuntikan dilakukan langsung oleh mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. Foto: Istimewa.
Dia menunjuk kepada faktor kemampuan sel dendritik menurunkan sifat dan kemampuannya dalam memicu kekebalan kepada sel-sel keturunannya. Menurut Tonang, ada banyak faktor yang mempengaruhi proses penurunan sifat itu. Belum lagi kalau ada perubahan sifat sel-sel kanker, perlu ada pajanan lagi dengan antigen yang baru.
Untuk aplikasinya melawan SARS-CoV-2, berarti jika ada beda tipe virus, atau ada mutasi, risikonya antigen itu berkurang spesifitasnya (kekhususannya). Akibatnya, kekebalannya juga menurun. Harus diberi pajanan antigen yang sesuai juga.
“Seperti juga vaksin metode lainnya, harus disesuaikan ulang bila patogennya berubah signifikan. Jadi memang poin pentingnya antigen yang dipajankan,” ujar Tonang merujuk kepada Vaksin Nusantara.
Baca juga:
RSUP Sardjito Yogya Uji Terapi Stem Cell pada Pasien Covid-19