TEMPO.CO, Bandung - Ketua Komisi Daerah Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (Komda KIPI) Jawa Barat Kusnandi Rusmil mengatakan hasil audit pada kasus seorang guru di Sukabumi yang mengalami lumpuh sementara tidak berhubungan dengan pemberian vaksin Covid-19.
“Belum cukup bukti untuk menyatakan adanya hubungan antara kelemahan anggota gerak dan keburaman mata dengan vaksinasi Covid-19. Diagnosis saat ini pada Guillain Barre Syndrome (GBS),” kata dia dalam konferensi pers daring, Senin, 3 April 2021.
Seorang guru asal Sukabumi, SA, 31 tahun, dilaporkan mengalami kelumpuhan sementara setelah menerima suntikan vaksin Covid-19. Laporan yang diterima Komda KIPI menyebutkan subjek terduga KIPI dengan mengalami mata buram dan anggota gerak melemah setelah 12 jam menerima penyuntikan vaksin Covid-19.
Terduga KIPI tersebut selanjutnya dirujuk dan menjalani perawatan di rumah sakit selama 23 hari sejak 1 April 2021. SA menjalani serangkaian pemeriksaan, di antaranya CT-Scan toraks serta pemeriksaan sampel darah.
“Hasilnya, dari spesialis syaraf diagnosis ditegakkan Guillain Barre syndrome (GBS),” kata Kusnandi.
Kusnandi mengatakan GBS tidak muncul tiba-tiba. “Guillain Barre ini tidak mungkin langsung suntik, lumpuh,” kata dia.
Kusnandi mengatakan tanpa penyuntikan vaksin, gejala GBS akan muncul. “Sebelum diimunisasi, dua minggu sebelumnya sudah terjadi infeksi yang tanpa gejala, jadi sudah ada infeksi yang tanpa gejala yang bisa menimbulkan reaksi Guillain Barre. Pada waktu disuntik vaksin, besoknya terjadi kelumpuhan, itu kebetulan saja,” kata dia.
Anggota Komda KIPI Jawa Barat, sekaligus dokter spesialis syaraf, Dewi Hawani, mengatakan GBS bisa disebabkan oleh virus. “GBS bisa disebabkan oleh virus, tapi tetapi bukan langsung oleh virus. Tetapi ada proses imunoglobulin yang terjadi. Biasanya 2-3 minggu sebelum terjadinya gejala,” kata dia, Senin.
Dewi mengatakan, GBS merupakan salah satu jenis penyakit auto-imun. “Awalnya terjadi ada infeksi, bisa oleh virus atau bakteri, yang menyerang tubuh seseorang. Tetapi bakteri ini tidak langsung merusak syaraf, tapi menyerang syaraf. Terjadi satu proses yang kita sebut auto-imun yaitu suatu sistem imunologis kita karena penyakit. Karena infeksi, berubah, sehingga sel syaraf mempunyai bentuk seperti sel bakteri, jadi dikenali sistem imun tubuh kita sebagai zat yang harus dimusnahkan,” kata dia.
Kusnandi mengatakan, infeksi yang menyebabkan GBS pada SA diduga sudah terjadi dua minggu sebelum penyuntikan vaksin. “Dua minggu sebelumnya dia sudah ada tanda-tanda kena infeksi yang tidak bergejala. Tidak terdeteksi, soalnya itu respons imunologi, jadi tidak terdeteksi,” kata dia.
Baca:
Kasus Covid-19 pada Mei Diprediksi Naik, Indonesia Posisi 4 di Asia