TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia dan Rusia sedang finalisasi nota kesepahaman (MoU) untuk kerja sama memproduksi vaksin Sputnik V di Indonesia. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menjelaskan MoU itu akan menjadi landasan kerja sama kesehatan jangka menengah dan panjang di antara kedua negara.
Vaksin Sputnik V dikembangkan oleh Institut Riset Epidemiologi dan Mikrobiologi Gamaleya, bagian dari Kementerian Kesehatan Rusia. Namun, dalam pengembangannya, vaksin itu memiliki beberapa kontroversi, seperti digunakan sebeum uji klinis fase 3 dilakukan, hingga data penelitiannya dianggap kurang transparan oleh peneliti di dunia.
Menanggapi kontroversi dari vaksin tersebut, Guru Besar Ilmu Mikrobiologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Amin Soebandrio, menjelaskan, saat ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sedang berkunjung ke Rusia. Menurutnya, BPOM akan melihat fasilitas produksi vaksin tersebut di sana.
“BPOM akan mereview semuanya terlebih dahulu, sebelum diproduksi dan digunakan di Indonesia,” ujar dia saat dihubungi, Rabu, 7 Juli 2021.
Amin yang juga kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman itu melanjutkan, BPOM tentu akan memastikan semua yang diklaim Institut Riset Epidemiologi dan Mikrobiologi Gamaleya sesuai dengan penelitian yang ada dan aman. “Nah baru dari situ BPOM akan memberikan rekomendasi apakah akan dilanjutkan atau tidak,” kata Amin.
Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Ari Fahrian Syam, setuju harus ada tim evaluasi untuk melihat bagaimana publikasi riset Sputnik V. Dia menyarankan kembali ke kaidah keilmuan perihal kontroversi vaksin Covid-19 asal Rusia tersebut. “Apakah metodologi baik, uji pra kliniknya bagaimana, objek yang menjadi sampel, hasil uji kliniknya, sampai harus ada publikasi internasionalnya,” tutur Ari.
Ari memberikan contoh publikasi internasional mengenai vaksin Sinovac yang bisa digunakan untuk anak. “Itu sudah ada reviewnya, dan jelas, maka itu sekarang kita bisa gunakan untuk anak,” ujar Dekan FKUI itu.
Sebagai informasi, vaksin Sputnik V terdiri dari dua dosis suntikan yang berjarak 21 hari antar dosis. Vaksin berbasis teknik virus vektor mengandung adenovirus, virus corona penyebab flu pada umumnya, yang dimodifikasi secara genetik.
Modifikasi dilakukan dengan menyisipkan gen protein paku dari virus corona SARS-CoV-2, penyebab Covid-19. Protein paku ini yang berperan penting dalam setiap infeksi virus ke dalam sel manusia. Teorinya, adenovirus berisi protein tersebut akan memprovokasi sistem imun tubuh sehingga nantinya bisa bekerja baik saat virus corona sebenarnya pemilik protein tersebut datang.
Baca juga:
Rusia Tawarkan Vaksin Covid-19 ke Indonesia, Dubes: Belum Direspons