TEMPO.CO, Jakarta - Buruknya kualitas udara karena kebakaran hutan terbesar yang terjadi tahun lalu memiliki kaitan kuat dengan lonjakan penularan Covid-19 dan kasus kematiannya di Amerika Serikat. Hasil riset tim peneliti di negara itu mengatakan, ada sebanyak 19.742 kasus baru Covid-19 dan 748 kasus kematiannya yang bisa dihubungkan dengan peningkatan konsentrasi partikel debu halus PM2,5 di udara karena kebakaran hutan di California, Oregon dan Washington.
Sudah diketahui bahwa pajanan jangka panjang terhadap udara yang kotor akan mengatrol risiko gejala parah dan kematian karena Covid-19. Riset terbaru ini memberi bukti baru untuk dampak pajanan yang jangka pendek. Dalam kasus ini adalah kejadian kebakaran hutan dan lahan yang mungkin telah membuat dampak pandemi Covid-19 terhadap kesehatan masyarakatnya bertambah buruk.
“Apa yang pertma-tama dikatakan dari hasil riset ini adalah, terutama untuk daerah-daerah yang terdampak kebakaran hutan, orang-orang sudah seharusnya mendapatkan vaksinasi dan mengenakan masker,” kata Francesca Dominici dari Departemen Biostatistika, Harvard University, juru bicara tim peneliti.
Dominici dkk meneliti data harian dari kasus baru Covid-19 dan kematiannya, juga konsentrasi PM2,5 harian antara Maret sampai Desember 2020 di 92 daerah yang mencakup 95 persen populasi di California, Oregon dan Washington. Mereka memasukkan pula parameter lain seperti cuaca dan data mobilitas di Facebook, selain juga situasi tanpa kebakaran yang dijadikan alat kontrol.
Secara umum, mereka menemukan ekstra 10 mikrogram PM2,5 per meter kubik udara sepanjang 28 hari yang terkait dengan peningkatan 11,7 persen penularan kasus Covid-19 dan penambahan 52,8 persen kasus kematiannya. Beberapa daerah juga menunjukkan data konsentrasi PM2,5 di udaranya yang lebih tinggi dari 500 mikrogram per kubik meter selama beberapa hari beruntun saat kebakaran terjadi—angka yang jauh di atas status ‘kualitas udara berbahaya’ di Amerika.
Secara spesifik, dampaknya untuk setiap daerah bervariasi cukup besar. Menurut Dominici, itu kemunginan karena, ‘trayektori dari pandemi di setiap daerah juga sangat, sangat berbeda.” Yang jelas, peningkatan konsentrasi PM2,5 di udara sejalan dengan penambahan kasus Covid-19 dan kematiannya karena paparan terhadap partikel debu halus itu telah menyebabkan gejala penyakit infeksi virus corona pada seseorang bertambah parah.
Dampak kualitas paparan yang sama bahkan berdampak pula kepada mereka yang bergejala ringan. Sebagai contoh, orang yang sejatinya tak bergejala menjadi mengembangkan gejala.
Langit berwarna oranye terlihat saat kebakaran yang meluas di Deer Park, California, 27 September 2020. REUTERS/Stephen Lam
Dominici mengungkapkan kalau hasil risetnya mungkin meninggalkan faktor lain yang harus diperhatikan. Pun dengan paparan konsentrasi PM2,5 lewat citra satelit mungkin tidak merefleksikan jumlah yang sebenarnya. Meski begitu, dia menambahkan, hasil riset telah menambahkan motivasi lain untuk kebutuhan memangkas emisi karbon dioksida.
Emisi itu yang diproyeksi memperburuk kebakaran hutan di Amerika sebelah barat pada tahun lalu, seiring dengan suhu Bumi yang menghangat. “Riset kami juga menyediakan alasan lain kenapa meredam perubahan iklim begitu penting,” kata peneliti yang juga berkecimpung di Harvard Data Science Initiative itu.
NEW SCIENTISTS, SCIENCEMAG
Baca juga:
Jakarta Diperingatkan, Kualitas Udara Buruk Makin Membahayakan Kala Pandemi