TEMPO.CO, Jakarta - Satu dari delapan vaksin Covid-19 lokal di Iran, Fakhravac Covid, mengumumkan diri stop produksi. Sebabnya, ketiadaan permintaan atas produk vaksin itu seiring volume impor vaksin dari negara itu yang meningkat. Iran dalam dua bulan belakangan memang dilaporkan mendatangkan puluhan juta dosis vaksin Sinopharm dan juga Astrazeneca.
Ahmad Karimi, Kepala Proyek Fakhravac, mengungkap minimnya tingkat permintaan terhadap vaksinnya itu sekalipun satu juta dosis telah diproduksi, dengan batch pertama yang sudah siap digunakan. Fakhravac diproduksi Organisasi Riset dan Inovasi Pertahanan, Kementerian Pertahanan Iran, dan saat ini memasuki uji klinis fase tiga atau akhir setelah mengantongi izin penggunaan darurat awal September lalu.
Karimi mengeluhkan proyek produksi vaksin Covid-19 yang namanya diambil dari nama ilmuwan nuklir yang tewas terbunuh pada November 2020, Mohsen Fakhrizadeh, tersebut yang hanya menerima pembayaran di muka dari pemerintahnya sebesar, dalam rupiah, hampir 170 miliar. Sedang pengembang vaksin domestik lainnya, disebutkan Karimi, menerima, masing-masing, empat kali lebih besar daripada Fakhravac.
Dia juga menambahkan, dengan meningkatnya vaksinasi Covid-19 di Iran, Fakhravac telah berjuang seperti proyek vaksin lokal lainnya merekrut para relawan uji klinis. Sayangnya, dari harapan bisa merekrut 1.000-1.500 relawan dalam sehari, kenyataan yang didapat hanya sekitar 100. “Ini menjadi tantangan karena dalam uji klinis fase tiga jumlah sampel harus sangat besar,” kata Karimi.
Wakil Kepala BPOM Iran, Heydar Mohammadi, menyatakan kalau institusinya sedang mempertimbangkan memberikan izin penuh sebagai vaccine booster kepada Fakharavac dan Razi Cov Pars. Vaksin yang terakhir diproduksi Institut Riset Serum dan Vaksin Razi dan kini juga sedang dalam fase uji klinis final.
Saat ini, baru sebanyak 25 juta dari total 84 juta penduduk Iran yang telah mendapatkan vaksinasi Covid-19 dosis penuh. Secara keseluruhan sebanyak 72,6 juta dosis yang sudah didistribusikan dan 60 juta dosis di antaranya adalah vaksin Sinopharm dari Cina. Adapun vaksin lokal terbanyak digunakan adalah Barakat, sebanyak 5,7 juta dosis.
CovIran Barakat, nama lengkapnya, adalah vaksin Covid-19 buatan lokal pemilik EUA di Iran yang terbesar distribusinya sejauh ini. Tapi, pabriknya juga gagal memenuhi target distribusi 50 juta dosis pada akhir September lalu. Sebagian kalangan menyebutnya sebagai satu di antara faktor lambatnya vaksinasi di Iran.
Berdasarkan angka resmi dari Kementerian Kesehatan Iran, lebih dari 124 ribu warganya telah meninggal karena Covid-19 dengan jumlah infeksi yang sudah sebanyak 5,8 juta kasus sejak Februari 2020 lalu. Diduga angka sebenarnya jauh lebih tinggi.
Tingkat kematian harian pada Oktober ini dilaporkan mulai menurun karena peningkatan vaksinasi sejak Agustus lalu. Sempat memuncak sampai 709 kasus pada Agustus lalu, angka kematian harian pada bulan ini telah turun menjadi 150 namun dengan jumlah penularan kasus baru harian yang masih dicatat hingga 10 ribu.
Terbaru, para pejabat kesehatan memperingatkan gelombang keenam ledakan kasus baru di Iran akan terjadi pekan-pekan mendatang. Menteri Kesehatan Bahram Einollahi bahkan menyebut glombang baru itu akan datang November. “Tapi kami sudah siap sepenuhnya dan rumah sakit saat ini sudah menyiapkan stok obat-obatan dan suplai oksigen sehingga kami bisa memeranginya nanti,” kata dia, Selasa, 19 Oktober 2021.
Kekhawatiran akan gelombang yang keenam itu terjadi menjelang rencana pelonggaran pembatasan kegiatan masyarakat di Iran. Sekolah-sekolah akan kembali dibuka untuk pembelajaran tatap muka dan para pegawai pemerintahan pun akan kembali berkantor. Kepada para pegawai itu diminta untuk setidaknya mendapatkan satu kali suntikan vaksin Covid-19 hingga pekan depan, sedang kepada para pelajar disediakan namun tak ada paksaan untuk vaksinasi yang sama.
IRANINTL, ALJAZEERA
Baca juga:
Kata Guru Besar FKUI Soal Kematian Colin Powell, Kanker dan Covid-19