TEMPO.CO, Jakarta - Belakangan ini ramai menjadi pembahasan dan pemberitaan mengenai kasus pembunuhan Brigadir J atau Nopryansah Yosua Hutabarat. Tersangka tambahan bersemi setelah ada perubahan keterangan dari satu tersangka yang pertama. Semakin terkuak adanya kebohongan yang sempat dilakukan mantan Kepala Divisi Propam Polri Irjen Ferdy Sambo dan sebagian anggota polisi lainnya untuk menutupi bagaimana sebenarnya Brigadir J tewas.
Teknik deteksi kebohongan sejatinya bisa membantu penyidikan mengungkap motif Irjen Ferdy Sambo cs dalam kasus itu. Teknik paling terkenal adalah penggunaan poligraf yang mendeteksi perubahan fisiologis dalam tubuh si terperiksa saat memberikan keterangannya yang tidak bisa diamati mata normal.
Tapi ada teknik baru yang dikembangkan di Amerika yakni EyeDetect. Cara ini dianggap lebih cepat, lebih murah, dengan tingkat akurasi yang kompetitif.
EyeDetect melibatkan program komputer yang dapat menangkap dan menguraikan aktivitas mata hingga milidetik. Adapun berbohong membutuhkan lebih banyak usaha daripada mengatakan yang sebenarnya. Pelaku harus berpikir lebih keras, menyebabkan pupil membesar.
Semua itu akan terdeteksi secara mikroskopis dalam tes EyeDetect 15 menit yang dibuat Converus, perusahaan yang berbasis di Lehi, Utah, AS.
Untuk mendemonstrasikan bahwa EyeDetect berfungsi — dan untuk melobi dukungan untuk teknologi tersebut — Mickelsen, sang CEO, telah memberikan ratusan dari apa yang dia sebut “tes angka” kepada influencer di pemerintah federal. Dia meminta peserta ujian untuk memilih nomor antara dua dan sembilan, menuliskannya dan tidak menunjukkannya kepada siapa pun.
Kemudian dia menyalakan komputer dan program EyeDetect mengambil alih, mengajukan serangkaian pertanyaan. Jika nomor yang dipilih adalah, katakanlah, empat, setiap kali pertanyaan menanyakan apakah angka itu yang ditulis, responden harus berbohong; sedang untuk pertanyaan tentang setiap nomor lainnya, peserta bisa mengatakan yang sebenarnya.
Hasilnya, EyeDetect memprediksi nomor tersembunyi dengan tingkat keberhasilan di atas 90 persen.
Dari Poligraf ke EyeDetect
Teknologi di balik EyeDetect dapat ditelusuri kembali ke profesor psikologi Universitas Utah, John Kircher dan David Raskin. Keduanya yang secara universal dianggap sebagai dua ahli di dunia dalam deteksi kebohongan. Mereka pula yang pada 1991 menciptakan poligraf terkomputerisasi, peningkatan signifikan pertama pada mesin poligraf asli yang ditemukan pada 1921.
Tapi ujian poligraf, melalui komputer atau lainnya, sangat berat, membutuhkan kabel dan manset tekanan darah dan setidaknya 90 menit untuk tes. Pada 2001, ketika revolusi teknologi sedang berlangsung, kedua Ph.D. itu berpikir untuk menemukan sesuatu yang dapat mendeteksi kebohongan lebih cepat dan dengan lebih sedikit masalah – sesuatu yang berbasis komputer.
Deteksi kebohongan atau Poligraf. shutterstock.com
Upaya mereka mengarahkan kepada kolaborasi dengan Anne Cook, kolega di Universitas Utah. Cook menggunakan mesin pelacak mata untuk eksperimen apa yang bisa diceritakan mata tentang hal-hal seperti memori dan pemahaman bacaan.
Dua profesor Universitas Utah yang lain kemudian bergabung. Mereka adalah Douglas Hacker dan Dan Woltz. Dan setelah satu dekade meriset, mereka berlima pun menemukan cara yang lebih murah dan lebih cepat untuk mendeteksi kebohongan dengan mengukur perubahan kognitif melalui mata.
Pada 2013, sekelompok investor memperoleh hak atas teknologi dari universitas, memboyong kelima profesor sebagai tim sainsnya, dan memulai perusahaan mereka: Converus. Perusahaan ini yang kemudian membagikan terobosan deteksi kebohongan ini kepada dunia.
Pada 2017, Converus merilis IdentityDetect, teknologi penilaian kredibilitas tambahan yang inovatif. Tahun lalu, mereka merilis poligraf otomatis pertama di dunia—EyeDetect+. Tahun ini, alat dan metode Converus itu dapat ditemukan di 60 negara, dengan lebih dari 600 pengguna, mulai dari departemen kepolisian hingga klinik terapi, bank, firma hukum, hingga sejumlah lembaga pemerintah.
Bukan hanya untuk penyidikan
Di AS, Converus memiliki kontrak dengan sekitar 75 institusi penegak hukum. Sepuluh berada di Utah, di antaranya kantor sheriff.
Selain pengusutan kasus, EyeDetect dimanfaatkan untuk menyaring rekrutan baru. Menurut Mickelsen, rata-rata 32 persen calon polisi yang melalui perangkatnya pada akhirnya gagal. Sebanyak 85 persen dari yang gagal itu karena mereka tidak jujur tentang penggunaan obat-obatan terlarang di masa lalu.
Karena undang-undang privasi yang ketat di AS, Converus melakukan sebagian besar bisnisnya di wilayah selatan perbatasan Amerika, di negara-negara di mana korupsi adalah bagian yang lebih besar dan budaya dan pengekangan hukum tidak begitu ketat.
Mickelsen mengutip contoh Acceso Credito, lembaga pemberi pinjaman Peru yang terutama menangani kredit mobil. Karena tidak ada biro kredit di Peru, cara Acceso Credito memeriksa calon pelanggan adalah dengan pergi ke rumah mereka, menghubungi majikan mereka, dan melakukan wawancara pribadi untuk menentukan apakah mereka memiliki risiko yang baik untuk mendapatkan pinjaman — upaya melelahkan yang memakan waktu berminggu-minggu.
Perusahaan menghilangkan proses pemeriksaan yang panjang ini dengan menempatkan laptop EyeDetect di 50 dealer mobil yang berbisnis dengannya, yang mengharuskan siapa pun yang mengajukan kredit untuk terlebih dahulu melakukan tes mata selama 15 menit.
Kritik lebih memilih Poligraf
Tapi, ada juga kekhawatiran penyalahgunaan khusus dengan EyeDetect. Tanpa elemen manusia, bias hasil mungkin berkurang tapi perangkat juga bisa sengaja disetel pada tingkat algoritma yang akan membuat sulit untuk lulus. Pada poligraf setidaknya ada transkrip percakapan manusia.
Levenson dari Loyola Marymount menyatakan pesimistis terhadap berbagai alat bantu tersebut. “Pengungkapan kebenaran harus ditentukan oleh orang, bukan mesin,” katanya.
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.