TEMPO.CO, Jakarta - Mahasiswa Indonesia di Inggris menggelar webinar dalam rangka merayakan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) pada 2 Mei 2023. Mereka berbagi praktik baik di UK dan Indonenesia. Mahasiswa doktoral di University of Leeds, Corry Caromawati, menceritakan resep siswa di Inggris bisa betah belajar di sekolah. Hal itu, kata dia, karena siswa tidak dibebani dengan pekerjaan rumah (PR) yang banyak.
“Sekolah memberikan PR, tetapi sedikit sekali. Mereka fokus pada kegiatan pembelajaran di sekolah. Anak-anak didorong belajar sebanyak mungkin di sekolah, sehingga di rumah lebih rileks,” ujar Corry Caromawati dalam webinar bertajuk "Berbagi Praktik Baik di UK dan Indonesia" yang diselenggarakan Doctrine UK dan Kelas Kreatif Indonesia pada Selasa, 2 Mei 2023.
Ibu dua anak tersebut mengungkapkan bahwa anaknya yang menempuh pendidikan sekolah dasar di Inggris hanya mendapatkan PR satu kali dalam sepekan. PR-nya pun berupa tugas membaca buku sesuai kemampuan literasi masing-masing siswa.
Desmaliza, mahasiswa doktoral bidang pendidikan lainnya yang berkuliah di University Manchester, mengatakan bahwa guru memberikan PR lebih banyak kepada siswa di jenjang sekolah menengah. Putranya yang sedang menempuh kelas 10 pendidikan menengah mendapatkan PR yang bersifat project-based learning atau pembelajaran berbasis proyek, bukan hafalan.
“Orang tua diberikan aplikasi untuk memantau apakah putra-putrinya sudah mengerjakan PR, dan sejauh mana capaian mereka,” ungkapnya.
Dalam webinar tersebut, sejumlah anak Indonesia yang sedang bersekolah di tingkat dasar dan menengah memberikan testimoni pengalaman bersekolah di Inggris. Sebagian anak menuturkan mereka senang bersekolah di Inggris sebab PR-nya jauh lebih sedikit dibanding sekolah di Indonesia.
Tak Ada PR, Pembelajaran Berbasis Proyek
Sedangkan di Indonesia, guru SD Gagas Ceria Bandung Yais Gumbira Buanawaty menuturkan saat ini sekolahnya pun sudah tidak membebani para siswa dengan PR. Para guru menerapkan kurikulum Merdeka Belajar yang memberikan keleluasaan untuk anak belajar.
“Sekolah kami juga lebih banyak memberikan pembelajaran melalui project-based learning, dan memperbanyak kegiatan di luar kelas agar anak tidak jenuh,” ucap penggiat Kelas Kreatif tersebut. Dia berharap seluruh sekolah di Indonesia menerapkan pembelajaran yang lebih menyenangkan untuk para peserta didik.
Selain PR yang tidak terlalu banyak, salah satu keunggulan sistem pembelajaran di Inggris adalah para siswa diberikan kebebasan untuk berpendapat dan berekspresi. “Anak-anak diberikan hak untuk bersuara, mereka tidak dilarang untuk kritis berpendapat. Selain itu, mereka diajarkan menghargai perbedaan agama, ras, tanpa didoktrin oleh sekolah,” ujar Corry.
Desmaliza yang sedang melakukan penelitian tentang praktik pendidikan menengah di Indonesia memaparkan bahwa siswa di Indonesia cenderung takut berbicara dan berbeda pendapat karena guru yang kurang bersikap terbuka terhadap kritik.
“Hardiknas ini harus jadi momentum untuk seluruh pendidik memperbaiki diri. Para guru harus mau menanggapi pendapat, kritik, dan pertanyaan dari para muridnya dengan lebih sabar dan terbuka,” ucapnya.
Webinar publik tersebut digelar oleh Klaster Education Doctrine-UK keilmuan bersama Kelas Kreatif Indonesia, dan dihadiri oleh para guru, dosen, serta penggiat pendidikan di sejumlah provinsi di Indonesia dan Inggris.
Doctoral Epistemic of Indonesian in the United Kingdom (Doctrine-UK) adalah organisasi independent yang mempersatukan seluruh mahasiswa doktoral Indonesia dari berbagai universitas di Inggris Raya. Sekretariat organisasi kemahasiswaan ini berada di London.
Pilihan Editor: Tak Hanya SBM, ITB Siapkan Kampus Lain di Jakarta untuk Prodi Baru