TEMPO.CO, Jakarta - Staf Ahli Bidang Regulasi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) Nur Syarifah mengingatkan ada tiga potensi permasalahan yang muncul jika kampanye diselenggarakan di tempat pendidikan. Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang memperbolehkan tempat pendidikan dijadikan sebagai salah satu tempat untuk berkampanye.
Nur mengatakan putusan MK tersebut membatasi lebih spesifik bahwa kampanye hanya diizinkan di tempat pendidikan, bukan di lembaga pendidikan. Tempat pendidikan yang dimaksud hanyalah perguruan tinggi sederajat saja. Kuncinya, semua itu harus atas izin dari pimpinan perguruan tinggi.
"Kami patuh terhadap putusan MK, tetapi kami ingatkan potensi permasalahan yang ada, sehingga perlu dicegah bersama-sama," kata Nur dalam diskusi daring 'Menelaah Kampanye Pemilu 2024 di Lembaga Pendidikan' oleh The Indonesian Institue pada Kamis, 21 September 2023.
Berdasarkan hasil identifikasi Kemendikbudristek dan diskusi terbatas bersama para pimpinan perguruan tinggi di Indonesia, terdapat tiga potensi yang harus dimitigasi atau dicegah.
Pertama, mengenai polarisasi atau pembelahan institusi-institusi pendidikan ke dalam aliran-aliran politik tertentu selama pelaksanaan kampanye. Pada akhirnya, hal tersebut dapat berpengaruh terhadap suasana pembelajaran.
"Berpotensi, perbedaan-perbedaan pilihan itu memengaruhi suasana pembelajaran. Jadi terkotak-kotak," kata Nur.
Potensi kedua adalah polarisasi yang terjadi dalam lingkup sivitas akademika. Terutama, risiko berbenturan dengan prinsip netralitas Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS.
"Di dalamnya memang sudah ditegaskan larangan-larangan apa saja. Jadi, itu potensi terjadinya benturan kepentingan di kalangan sivitas akademika," kata Nur.
Potensi ketiga menyoal kesulitan dalam pengaturan jadwal yang adil dan tidak memihak, mengingat banyaknya jumlah peserta pemilu. Potensi ini berkaitan juga dengan tempat yang akan digunakan untuk kegiatan kampanye. Sebab, menurut Nur, tidak semua kampus mempunyai ruangan yang memadai.
Penyelenggaraan kampanye hanya diperbolehkan di ruang serbaguna, halaman dan lapangan. Tempat yang diizinkan adalah tempat yang tidak bersinggungan dengan kegiatan pembelajaran.
"Pembelajaran itu tidak hanya yang tatap muka di kelas atau lab saja. Ada kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler dan sebagainya," kata Nur.
Di samping itu, pelaksanaan kampanye juga harus dilakukan di luar hari pembelajaran. Artinya, hanya dimungkinkan pada hari Sabtu atau Ahad saja.
Kemudian, pimpinan perguruan tinggi juga harus memastikan tidak adanya gesekan kepentingan lain. Potensi yang akan terjadi di tempat kampanye, menurut Nur, sangat bisa diminimalisir, karena masih dalam satu komando yang sama antara audiens dan pemberi kampanye.
"Kita tidak bisa pastikan, ketika terjadi pergerakan dari tempat kampanye ke luar atau masuk ke dalam. Prinsipnya, kampus adalah ruang yang aman, nyaman, menyenangkan serta bebas dari kepentingan apa pun," kata Nur.
Adapun aturan mengenai kampanye politik di tempat pendidikan masih dalam tahap revisi rancangan PKPU Nomor 15 Tahun 2023. Perubahan aturan yang menyesuaikan keputusan baru MK itu telah melalui proses FGD dan uji publik untuk selanjutnya dikonsultasikan dengan DPR.
Pilihan Editor: Soal Kampanye di Kampus, UGM: Sebagai Kerangka Pendidikan Politik