TEMPO.CO, Jakarta - Pada Juni 2023, setelah penantian selama dua tahun, Ridi Ferdiana akhirnya menerima gelar profesornya. Gelar itu ia peroleh di usianya yang masih terbilang muda, yaitu 39 tahun. Ia pun tercatat sebagai salah satu jajaran pimpinan muda di lingkungan Universitas Gadjah Mada atau UGM yang bergelar profesor.
Tidak hanya berhasil meraih gelar akademik tertinggi, Ridi tengah mengemban amanah mengurusi teknologi informasi di tingkat universitas. Di tangannya, ia bertanggung jawab melakukan pengelolaan dan pemeliharaan infrastruktur jaringan dan internet di lingkungan universitas serta melakukan perencanaan, pengelolaan, pemeliharaan infrastruktur jaringan, pusat data dan fasilitas komputasi yang andal.
Ridi bercerita ia sudah hampir tiga tahun mendaftar untuk pengusulan profesor. Ia mengaku beruntung adanya perubahan aturan dan berkas syarat pengusulan profesor baru-baru ini dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi sehingga gelar profesornya bisa turun tahun ini.
“Antrian sudah agak lama sekitar dua tahun. Baru kemarin bulan Juni turun,” kata Ridi dikutip dari laman UGM.
Ridi sudah mengajar di Fakultas Teknik UGM sebagai dosen Teknik Elektro kurang lebih lima belas tahun. Pendidikan Sarjana, S2, dan S3 ia selesaikan di Fakultas Teknik UGM.
“Saya masuk (jadi dosen) tahun 2008 bulan Desember. Sekitar 15 tahun menjadi dosen, akhirnya jadi profesor,” kata Ridi.
Selama menjadi pengajar, Ridi aktif melakukan penelitian dan mengaplikasikan riset berguna bagi masyarakat maupun perusahaan. Setiap tahun, rata-rata ia bisa mempublikasikan 1-2 dua riset baru yang diterbitkan di jurnal atau dipresentasikan dalam sebuah konferensi internasional.
“Setahun kalau produktif, bisa satu sampai dua publikasi, satu jurnal dan satu konferensi. Kalau lagi apes, dua konferensi saja. Setiap tahun riset beda topik, karena tergantung pendanaan,” kata Ridi yang memiliki kompetensi di bidang riset rekayasa perangkat lunak.
Jadi, sambil mengajar, Ridi memanfaatkan waktu di laboratorium dan aktif di depan komputer untuk mengurusi riset. Ia sering mengunjungi perpustakaan fakultas untuk membaca buku.
“Ada ruang kecil di lantai tiga, di situ saya kumpulkan banyak buku untuk saya baca. Lalu buat resume satu-satu," kata Ridi.
Ridi juga berlangganan jurnal yang tidak disediakan oleh fakultas atau Universitas untuk kebutuhan risetnya. Bahkan beberapa kerja sama riset yang sudah dia lakukan diantaranya dengan Microsoft Jepang tahun 2019 melakukan riset kecerdasan buatan berempati.
“Yang kita lakukan bagaimana AI itu paham unggah-ungguh. Bisa ngomong dengan user yang sebaya atau seumuran sehingga bisa lebih gaul,” kata Ridi.
Sejumlah hasil riset
Ridi juga pernah melakukan riset soal kebiasaan masyarakat memulai percakapan saat mengetik pesan di sebuah aplikasi percakapan. “Waktu itu saya riset soal perilaku masyarakat kita saat mengetik di smartphone. Kita sampai tahu anak SMP itu misalnya sering ngomong apa, ngobrol formal atau informal, menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Jawa," kata dia.
Riset menarik yang dilakukan Ridi adalah soal bahasa kucing. Bekerja sama dengan Samsung, ia mengumpulkan sampel 35 hingga 40 ribu video kucing di aplikasi Youtube. Dari riset ini diketahui suara kucing dan perilaku yang dilakukannya.
“Kita petakan berdasarkan ras kucing dan suaranya, suara kucing ingin kawin, suara kucing lagi sedang marah, kita klasifikasi mood kucing. Sekitar 35-40 ribu video kucing kita kumpulkan dari Youtube, lalu kita ekstrak audionya, kita koneksikan dengan deskripsi yang tertera di video itu," kata Ridi.
Dari riset itu, Ridi ingin suatu saat nanti manusia bisa mengetahui suara kucing ketika lagi lewat. "Kita tahu ia lagi ingin apa, agar kita bisa kita tahu apa yang harus dilakukan,” kata dia.
Ke depan, Ridi merencanakan riset tentang digital sibling, di mana orang bisa berinteraksi dengan saudara, kerabat kandung atau orang tua yang sudah meninggal secara digital lewat teknologi kecerdasan buatan (AI). “Orang yang sudah meninggal, bagaimana perilakunya bisa masuk ke AI. Harapan saya nantinya anak cucu bisa ngobrol dan berinteraksi. Dari perilaku, cara ngomong, hingga suara dibuat bisa semirip mungkin,”kata dia.
Ridi pun berbagi tips agar seorang dosen bisa mengejar gelar profesor lebih cepat seperti dirinya di bawah usia 40 tahun. Menurut dia, dosen harus tetap konsisten dalam mengajar dan riset secara bersamaan dan berani berkata tidak pada hal yang tidak sesuai dengan kompetensinya.
“Misalnya kita ditawari sebuah pekerjaan tidak kompeten berujung jadi administrasi, lebih baik ditolak. Tidak semuanya kita tolak, namun tidak semua kita terima, tapi ada personal target yang mesti kita gapai,” kata Ridi.
Pilihan Editor: Jaket J-Force Buatan Mahasiswa UGM, Punya Fungsi Keselamatan Bagi Pemotor