TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Pusat Halal Universitas Gadjah Mada (UGM) Nanung Danar Dono menyebut informasi yang beredar di media sosial terkait peredaran beras plastik adalah hoaks. Nanung mengatakan manakala informasi itu benar maka saat beras dari plastik dikukus mustahil bisa mengembang atau berubah wujud menjadi nasi.
"Jika memang benar ada, maka saat dipanaskan ia hanya akan berubah menjadi beras plastik panas, bukan berubah menjadi nasi," ujarnya pada Rabu, 11 Oktober 2023 dilansir dari situs UGM.
Dia menjelaskan polimer plastik saat dipanaskan atau dikukus hanya akan berubah menjadi plastik panas, bahkan jika terlalu panas akan mengkerut bukan malah mengembang.
Nanung menyampaikan jika ada orang yang membuat video menggenggam nasi lantas dibentuk bola padat lalu bisa memantul saat dilempar, maka hal itu bukan berarti mengindikasikan nasi tersebut terbuat dari plastik.
Menurut dia, hal tersebut mengindikasikan bahwa nasi memiliki kandungan non-starch polysaccharides (NSP) atau karbohidrat non-patinya tinggi.
Hal serupa juga dapat terjadi terutama pada jenis beras yang memiliki kandungan amilopektin dan amilosa tinggi semacam beras ketan atau glutten rice atau stiky rice.
"Itulah sebabnya mengapa lemper itu saat digigit sangat liat berbeda dengan arem-arem yang terbuat dari beras biasa," kata dia.
Nanung menjelaskan industri nasi palsu, telur palsu, ikan (tempura) palsu, kobis palsu, sayur palsu sesungguhnya memang ada di Jepang dan di Cina.
Meski begitu, lanjut dia, produk-produk tersebut sebatas sebagai bahan displai menu masakan di depan restoran siap saji dan bukan untuk dikonsumsi.
Di Jepang, Cina atau Thailand banyak ditemui restoran yang memajang menu masakannya dengan produk-produk semacam itu.
"Sekali lagi, itu sekadar untuk contoh berbagai menu yang dijual, bukan untuk dikonsumsi pembelinya," kata dia.
Oleh karena itu, Nanung Danar Dono meminta netizen membiasakan diri mencari klarifikasi kebenaran sebuah berita yang sedang viral di media sosial serta tidak terburu-buru menyebarkannya.
"Ini penting agar kita tidak membuat gaduh dan tidak ikut menyebarkan kebohongan ke publik (masyarakat). Mestinya pantang bagi kita membuat atau ikut-ikutan menyebarkan berita bohong di media sosial, atau dimana pun kita berada," kata dia.
Pilihan Editor: 75 Ribu Siswa Tak Layak Terima KJP Plus, dari Punya Mobil hingga NJOP di Atas Rp 1 Miliar