Ia bercerita, butuh banyak kesabaran untuk menghadapi tantangan selama proses belajar dan mengajar. Tantangan pertama ada pada ketidaksukaan beberapa orang tua terhadap cara mengajar Yosi. Meskipun demikian, Yosi dan guru lainnya tetap memberikan pendidikan pada murid-muridnya.
"Ada (orang tua) yang tidak suka dengan guru, tidak suka dengan cara ajar kita. Tapi, karena kita semua satu kampung, satu keluarga, akhirnya kita terobos. Kita tahu anak ini pintar, jadi kita tarik anak itu, ajar dia. Anak-anak itu kini sudah jadi tentara dan polisi di sana (Kota Jayapura)," katanya dilansir dari Antara.
Tantangan lain datang dari sebagian orang tua yang masih bersikukuh untuk tak menyekolahkan anaknya. Ada yang lebih memilih untuk mengajak anak-anak bekerja. Namun, Mama Yosi tak kenal lelah. Ia mengajak anak-anak itu ke rumah baca yang didirikannya. Ia juga meyakinkan kedua orang tua anak bahwa pendidikan akan mengantarkan anak mereka kepada kehidupan yang lebih baik.
Tak hanya itu, Yosi pula yang mengurus administrasi kependudukan anak-anak didiknya. Sebab, sebagian masyarakat masih tak terlalu peduli dengan pembuatan akta atau kartu keluarga. Padahal, kedua berkas tersebut sangat dibutuhkan untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.
Yosi bersama lima para pengajar di PAUD Nuri Ayapo bahkan memikirkan masa depan anak-anak setelah lulus dari sekolah itu. Mereka memberikan sertifikat yang memuat penilaian dari enam aspek kemampuan anak. Mulai dari aspek agama, seni, kemampuan kognitif, hingga motorik kasar dan halus.
Sebagian besar anak lulus di usia 6 sampai 7 tahun. Mereka melanjutkan ke sekolah dasar (SD). Pada titik ini, Yosi pula yang mengetuk pintu-pintu SD agar muridnya dapat diterima, tanpa tes membaca atau menghitung seperti yang umum dilakukan. Menurut Yosi, anak-anak tersebut lulus dari sekolah non-formal, bukan sekolah formal yang telah mengajarkan membaca atau menghitung. Yosi menyampaikan agar sekolah menerima mereka, karena memang sudah cukup umur. Tak perlu lagi dites yang macam-macam.
Bahkan, Yosi menerima anak-anak usia SD untuk belajar, karena belum bisa membaca dan menulis. Ia ceritakan tentang seorang anak yang ditemuinya saat membeli pinang. Namun, anak tersebut tidak paham cara menghitung uang. Yosi memanggilnya dan barulah ia tahu bawa si anak belum bisa membaca.
"Kau bukan tidak tahu, kau tahu, tapi kau takut dengan guru. Kau tak berani sampaikan (bagian) mana yang tak paham ke guru. Di situ mama menangis, anak juga menangis," tutur Yosi.
Dari kejadian-kejadian serupa yang ia temukan, Yosi menyimpulkan bahwa tidak ada anak Indonesia yang bodoh. Hanya saja, masih banyak guru atau orang tua yang kurang memberikan peluang untuk anak-anak mereka.
Sementara itu dari sudut lain, perkembangan digital juga menjadi tantangan tersendiri dalam misi Yosi. Kondisi kini membuat anak-anak lebih senang bermain gawai daripada belajar dengan buku fisik. Namun, ia tak mempermasalahkan itu dan justru melihatnya sebagai peluang, asalkan dapat menyeimbangkan antara teknologi dengan pembelajaran konvensional.
Baginya, guru zaman sekarang mesti lebih keras berjuang. Harus ada guru yang bisa mengolah cara pembelajaran agar anak tetap bisa mencintai buku fisik. Meskipun memang di gawai lebih berwarna sebab ada cerita audiovisual yang mungkin lebih menarik bagi anak-anak.
Sebagai jalan keluar, Yosi ajarkan anak dengan kedua metode itu. Kadang dengan buku, kadang juga dengan gawai, sehingga ada keseimbangan antara metode konvensional dengan perkembangan teknologi informasi. Dengan cara itu, ia berharap anak-anak Indonesia tak tertinggal dengan perkembangan teknologi.
Di sisi lain, peningkatan kapasitas guru di daerah juga tak kalah pentingnya. Menurut Yosi, masih banyak siswa yang saat ini memang sudah bisa membaca, namun belum bisa memahami maksud dari bahan bacaan.
Yosi dan lima orang guru lain yang membantunya di PAUD masih berstatus guru honorer. Mereka diupah dengan nominal yang tak seberapa dari Pemerintah Kabupaten Jayapura. Ia hanya mendapatkan upah Rp 500 ribu untuk 3 bulan. Meski sudah 18 tahun mengajar, hingga kini Yosi belum juga diangkat menjadi aparatur sipil negara.
Namun, hal itu tak pernah menghalanginya untuk terus berjuang. Di tengah kesibukan mencerdaskan kehidupan bangsa, Yosi juga berkebun, menjadi relawan di rumah baca dan bekerja bersama lembaga-lembaga nirlaba yang membantu napas PAUD Nuri Ayapo.
Punya harapan yang besar untuk generasi Papua
Yosi pernah ke Jakarta bersama salah satu lembaga Kristen yang sering memberikan penguatan kepada guru-guru di pelosok. Pengalaman ke Jakarta semakin membuka hati dan pikirannya untuk mendidik anak-anak Papua agar tumbuh menjadi pembeda dan bisa kembali ke Papua untuk membangun Kampung Ayapo bersama-sama.
Saat ini, Mama Yosi menaruh harapan besar pada salah satu anaknya yang bernama Marselina Putri Epa. Kini, Putri sedang menempuh pendidikan sarjana di dua kampus, yakni Universitas Cenderawasih dan International University of Papua. Ia menerima beasiswa dari Pemerintah Provinsi Papua. Ia juga menjadi aktivis baca untuk meningkatkan kemampuan literasi masyarakat di Papua.
"Kau harus bisa jadi pengaruh. Ke depan, kamu berdiri, bunda di belakang. Bunda berlutut, berdoa untuk kamu generasi-generasi mendatang, supaya untuk menyambut persaingan itu kau tidak tertinggal. Kau juga bisa maju di depan untuk tolong mereka agar tumbuh ke depan juga," demikian pesan Yosi kepada putrinya itu.
Pilihan Editor: Kisah Khadijah, Guru yang Menembus Hutan Pegunungan Meratus Demi Mengajar