TEMPO.CO, Jakarta - Persoalan kedatangan pengungsi Rohingya yang berdatangan ke wilayah Indonesia, khususnya Aceh, masih menjadi sorotan. Terlebih setelah sejumlah kelompok mahasiswa dan masyarakat melakukan aksi penolakan. Mengenai hal itu, Pakar Hukum Internasional Universitas Muhammadiyah Surabaya atau UM Surabaya Satria Unggul Wicaksana mengingatkan risiko dari penolakan pengungsi itu.
Menurut Satria, kasus penolakan itu bisa memicu kekacauan dan mempertegas gesekan antar-warga di masa depan. Sebab, pengungsi mempunyai hak sesuai Konvensi Jenewa 1951.
"Tentu hal ini harus diketahui, apa perbedaan konsepsi antara pencari suaka (asylum seekers) dan pengungsi (refugees)," kata Satria, Jumat, 29 Desember 2023.
Satria menjelaskan bahwa jika berkaitan dengan pencari suaka, maka negara memiliki otoritas penuh dalam menerima atau menolak. Sebab, mereka adalah orang yang tidak memiliki alasan mengapa mereka berhijrah dari negara asal ke negara tujuan.
Pengertian pengungsi (refugees) sendiri adalah orang atau kelompok yang mengalami persekusi di negara asalnya atas nama ras, suku, etnis, dan budaya sehingga tidak ada pilihan lain selain keluar dari negara asalnya. Hak hidup mereka diatur dalam Konvensi Jenewa 1951 tentang status pengungsi dan protokol tambahan 1967.
Pada Pasal 33 Konvensi Jenewa 1951 ada prinsip non-refoulement, di mana semua negara baik yang telah meratifikasi di Konvensi Jenewa 1951 ataupun tidak, dapat menerima mereka yang masuk kategori sebagai refugee. Dalam kasus Rohingya, seharusnya mereka dapat diterima dan tanpa dipersekusi di Indonesia.
"Memang Indonesia tidak meratifikasi Konvensi Jenewa 1951, namun negara wajib melakukan skrining siapa yang masuk layak menjadi refugee mendapat status screen in, dan siapa yang menjadi screen out," kata Satria. "Bagi mereka yang screen in, mereka dilindungi dan dipenuhi hak-haknya oleh UNHCR, lembaga internasional di bawah PBB yang menangani kasus pengungsi."
Di sisi lain, Satria meilai Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Myanmar perlu menjalin komunikasi diplomatik untuk memulangkan kembali mereka ke tempat asal apabila stabilitas politik telah pulih dan hak-hak mereka dijamin untuk tidak dilanggar. “Sehingga peran serta pemerintah dan negara Indonesia menjadi sangat penting, termasuk mendorong ASEAN sebagai organisasi regional di kawasan Asia Tenggara untuk memberikan bantuan kemanusiaan dan menaikkan peran dan komitmen tingginya untuk menyelesaikan polemik kasus Rohingya tersebut," kata dia.
Pilihan Editor: ASEAN Studies Center UGM soal Pengungsi Rohingya: Perlu Diplomasi Gigih, Lihat Sisi Kemanusiaan