TEMPO.CO, Yogyakarta - Video pengukuhan guru besar baru Universitas Gadjah Mada (UGM) viral di media sosial, Minggu 18 Februari 2024. Video berisi penggalan orasi ilmiah dari Sarjiya yang dikukuhkan sebagai Guru Besar Teknik Elektro.
Dalam pengukuhan yang telah dilakukan pada 1 Februari 2024 itu, Sarjiya membuat orasi ilmiah yang pada bagian akhirnya berisi ucapan terima kasih antara lain kepada kedua orang tua, tiga kakak, dan satu adik. Suaranya parau dan dia menangis di bagian ini.
Beberapa kali kalimatnya terhenti dan pria berusia 50 tahun asal Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta, itu mengambil kertas tisu. Video juga menyorot sang ibu yang tampak berusaha keras menahan air matanya berderai.
"Secara khusus saya memohon maaf kepada adik Suparsih yang pada waktu itu terpaksa tidak bisa lanjut ke bangku SMA meskipun dengan nilai ujian SMP yang sangat baik," kata Sarjiya dalam video itu.
Saat dihubungi pada hari ini, Senin 19 Februari 2024, Sarjiya mengungkap dirinya tengah berada di Amsterdam, Belanda. Kepala Pusat Studi Energi UGM itu selama sepekan ke depan diundang menyambangi sejumlah universitas ternama di Eropa untuk membahas agenda kerja sama pendidikan.
Sarjiya mengaku mengetahui video pengukuhannya sebagai guru besar viral. Dosen Mata Kuliah Operasi dan Perencanaan Sistem Tenaga Jurusan Teknik Elektro itu menuturkan, tangisnya saat itu karena sangat teringat perjuangan keluarganya mengantar ia sampai bisa kuliah.
"Saya itu kebetulan anak laki laki satu satunya di keluarga, saya anak ke empat dari lima bersaudara," kata ayah tiga anak itu.
Sarjiya menuturkan lulus dari SMA Negeri 1 Teladan Kota Yogyakarta pada 1993 tepat saat adiknya, Suparsih, juga lulus SMP. Dia kemudian mencoba tes masuk Teknik Elektro UGM dan berhasil diterima. Sedangkan adiknya saat itu juga memiliki nilai ujian akhir SMP sekitar 48 atau rata-rata 8 sehingga berpeluang menyusulnya masuk SMA negeri favorit kala itu.
"Tapi karena ekonomi bapak-ibu saat itu tidak memungkinkan saya dan adik bersama-sama lanjut sekolah, akhirnya adik yang berkorban berhenti sekolahnya sampai SMP dan saya lanjut kuliah," kata suami dari dokter Widya Fatmawati itu.
Sarjiya bercerita, kala 1990-an itu belum ada skema beasiswa untuk jenjang SMP-SMA. Sekolah pun ditanggung sepenuhnya orang tua siswa.
Ayah Sarjiya kala itu hanya berprofesi sebagai buruh angkut tobong gamping atau batu kapur yang hariannya juga menyambi sebagai penderes kelapa. Sedangkan sang ibu, setiap harinya berjualan gula jawa.
Dengan ekonomi serba terbatas, kakak pertama dan kedua Sarjiya tak sampai lulus SD. Sedangkan kakak ketiganya hanya lulus SD. "Kakak-kakak saya tak sampai lulus SD karena orang tua tak sanggup membayar iuran sekolah."
Baca halaman berikutnya: Sokongan didapat dari mereka yang putus sekolah