TEMPO.CO, Jakarta - Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur (Jatam Kaltim) mempertanyakan komitmen lingkungan dan hak asasi manusia Presiden Joko Widodo dalam pembangunan Ibu Kota Nusantara atau IKN. Apalagi menjelang perayaan upacara 17 Agustus 2024, pembangunan dikebut oleh pemerintah.
Dinamisator Jatam Kaltim Mareta Sari mengatakan sebelum adanya IKN, beban lingkungan Kalimantan Timur sudah begitu berat. "Kalimantan Timur sudah menghadapi masalah lingkungan dengan banyaknya industri ekstraktif, mulai dari industri kayu, pertambangan migas, lalu pertambangan batubara, perkebunan sawit skala besar," kata Mareta kepada Tempo, Jumat, 7 Juni 2024.
Menurut dia, penetapan IKN pada tahun 2019 yang berada di Kabupaten Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara malah menambah beban lingkungan tersebut. Menurut dia, Kabupaten Kertanegara merupakan daerah dengan izin tambang terbesar saat itu, yakni 600 izin tambang dari total 1.400 izin tambang waktu itu yang diberikan.
"Apalagi pemindahan ibu kota dilakukan sepihak oleh presiden tanpa meminta persetujuan di Kaltim. Karena ini adalah proyek pemindahan ibu kota, seharusnya melibatkan partisipasi seluruh warga Indonesia," ungkapnya.
Menurut Mareta, Jatam sempat mengeluarkan laporan bawa kedua kabupaten yang menjadi wilayah IKN tidak dalam kondisi kosong. Di lokasi itu terdapat konsensi untuk industri kayu, ada perkebunan sawit, serta pertambangan batubara.
"Di situ juga ada pemukiman dan wilayah masyarakat adat. Ada juga situs penting seperti kuburan dan gunung. Sebenarnya ada pengetahuan budaya yang sudah dibangun. Ini yang tidak jadi pertimbangan," ucapnya.
Selain minim partisipasi publik, Mareta mengatakan pembangunan IKN tidak dilakukan secara transparan. Ia menyebutkan Jatam pernah melakukan gugatan informasi publik ke Kementerian PUPR untuk meminta dokumen pembangunan bendungan Sepaku Semoi dan bendungan Selamayu, tapi belum pernah diberikan. "Sekarang malah Menteri PUPR yang jadi Plt Kepala Otorita IKN, tapi dari awal sudah tidak transparan," ungkapnya.
Selain itu, menurut Mareta, kejelasan hak atas tanah juga jadi problem di IKN. Pada tahun 2019, kata dia, Bupati Penajam Paser Utara sempat menjanjikan peningkatan lahan dan tanah milik warga menjadi sertifikat. Namun, ketika warga mengurus ke pihak Badan Pertanahan Nasional, malah tidak diakomodir. "Makanya pada tahun 2022 lalu, hasil pemeriksaan Ombudsman menyebutkan adanya tindakan maladministrasi karena adanya tindakan keliru dari ATR/BPN," ungkapnya.
Pilihan Editor: YouTube Larang Konten Senjata Api Mulai Bulan Ini, Apa Saja Kategorinya?