TEMPO.CO, Ternate - Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) menilai pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) berupa tambang nikel di Halmahera, Maluku Utara, menjadi salah satu ancaman nyata bagi masyarakat pesisir, pedalaman, dan pulau-pulau kecil. Proyek tersebut membuat penduduk lokal tergusur dan daya dukung lingkungan semakin menurun.
Menurut Pius Ginting, Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), dari hasil analisis spasial dari 2013 hingga 2023 menunjukan, kawasan hutan wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) di Halmahera Tengah yang menjadi kesatuan wilayah ekologis antara desa saat ini telah hilang akibat tambang. Akibatnya, tekanan terhadap lingkungan hidup di wilayah Halmahera Tengah semakin besar.
“Aktivitas penambangan nikel Halmahera juga membuat sedimentasi tinggi. Sungai jadi keruh dan memperkecil daya tampung. Tak heran bila kondisi membuat wilayah itu dilanda bencana banjir,” kata Pius kepada Tempo, Rabu 28 Agustus 2024.
Pius mengatakan, dalam dokumen Kajian Risiko Bencana Provinsi Maluku Utara, disebutkan bahwa Kabupaten Halmahera Tengah menjadi salah satu daerah yang memiliki potensi bahaya banjir tertinggi dengan luasan terdampak mencapai 16.290 hektare.
Daerah ini juga menjadi daerah yang dengan tingkat risiko bencana banjir bandang dengan kategori tinggi dengan luas ancaman 8.166 hektare. Hasil penelusuran menunjukkan bahwa deforestasi di wilayah konsesi tambang pada batas ekologis mencapai 7.167 hektare. Wilayah Halmahera Tengah saat ini dibebani oleh 26 konsesi pertambangan dengan total luas 57.627 hektare.
Pada akhir Juli 2024, Halmahera Tengah mengalami banjir yang menyebabkan satu orang meninggal dan ribuan orang mengungsi. Bencana banjir tersebut bahkan merupakan yang terburuk dalam satu dekade terakhir, yang membuat akses jalan terputus, ratusan rumah terendam dan satu meninggal.
“Kajian kebencanaan saat ini sudah harus menjadi salah satu pertimbangan penting pembangunan di Halmahera Tengah ke depan, termasuk dalam implementasi hilirisasi nikel yang lahap lahan,” ujar Pius.
Abubakar Yasin, Kepala Bidang Penataan dan Kapasitas Dinas Lingkungan Hidup Halmahera Tengah, mengakui ada persoalan lingkungan yang muncul dari kehadiran proyek investasi. Salah satu yang paling terlihat adalah tingginya produksi sampah warga.
Menurut Abubakar, tingginya pertumbuhan jumlah penduduk di kawasan tambang membuat sampah menjadi persoalan serius. Selain itu juga ada soal penanganan limbah tambang yang masuk ke sungai dan tidak terkelola dengan baik dan itu berpengaruh terhadap kualitas sungai.
Namun Abubakar mengatakan, kehadiran investasi di Halmahera Tengah tidak bisa ditolak karena izin investasi dikeluarkan pemerintah pusat. Pemerintah daerah hanya bisa menindaklanjuti keputusan itu dan mencoba untuk terus mengawasi sesuai kewenangannya. “Kami tidak berdiam diri. Pengawasan tetap kami lakukan meski belum maksimal," ujarnya.
Pilihan Editor: Jelang Indonesia-Africa Forum, Kemenkes Siapkan Skrining Mpox di Bandara Bali