TEMPO.CO, Jakarta - DPR telah menyetujui tambahan anggaran sebesar Rp 25 miliar untuk Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dalam APBN 2025. Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, menjelaskan bahwa dana tambahan ini akan digunakan untuk mendanai kegiatan modifikasi cuaca pada 2025. Rencananya, modifikasi cuaca tersebut akan dilakukan selama 40 hari dengan biaya sebesar Rp 22,09 miliar.
"Modifikasi cuaca ini diperlukan untuk mencegah dampak bencana hidrometeorologi ekstrem pada tahun 2025," kata Dwikorita Karnawati dalam rapat rencana kerja anggaran bersama Komisi V DPR, Selasa, 17 September 2024.
Meskipun telah menerima tambahan anggaran, Dwikorita mengungkapkan bahwa jumlah tersebut masih jauh dari kebutuhan keseluruhan modifikasi cuaca nasional, yang diperkirakan mencapai Rp 700 miliar.
Sebagai langkah awal, BMKG akan melakukan pemetaan untuk menentukan wilayah yang membutuhkan modifikasi cuaca. Modifikasi ini nantinya akan melibatkan pesawat yang menebarkan garam di titik-titik tertentu, terutama di wilayah pertanian yang rentan terhadap cuaca ekstrem yang bisa memicu gagal panen.
Meskipun sulit menghentikan risiko hujan ekstrem sepenuhnya, Dwikorita menyatakan bahwa modifikasi cuaca dapat membantu mengurangi dampak negatif dari hujan ekstrem yang bisa memicu bencana hidrometeorologi.
Cara BMKG Modfikasi Cuaca
Modifikasi cuaca adalah teknik intervensi yang dilakukan di atmosfer untuk mempengaruhi pola cuaca. Dilansir dari berbagai sumber, salah satu metode paling umum adalah cloud seeding atau penyemaian awan, di mana bahan kimia tertentu seperti perak iodida atau natrium klorida (garam) disebarkan ke dalam awan dengan harapan mempercepat proses pembentukan hujan.
Teknologi ini juga dapat digunakan untuk mengurangi intensitas hujan di suatu wilayah guna mencegah banjir atau bencana hidrometeorologi lainnya.
Teknologi cloud seeding berfokus pada manipulasi awan yang berpotensi menghasilkan hujan. Bahan kimia yang digunakan berperan sebagai inti kondensasi (nuclei) yang mempercepat penggabungan tetesan air di dalam awan, sehingga memperbesar peluang turunnya hujan.
Penyemaian ini dapat dilakukan menggunakan pesawat udara, drone, atau dari darat melalui alat penyembur roket yang menembakkan bahan kimia tersebut ke dalam awan.
Meski teknologi modifikasi cuaca menawarkan berbagai manfaat, teknologi ini tidak lepas dari berbagai tantangan. Pertama, keberhasilannya tidak selalu dapat dipastikan. Cuaca adalah sistem yang sangat kompleks, dan sering kali sulit untuk memprediksi hasil yang tepat dari intervensi.
Kedua, ada kekhawatiran terkait dampak lingkungan jangka panjang dari penggunaan bahan kimia seperti perak iodida, meskipun studi sejauh ini menunjukkan dampaknya relatif kecil.
Selain itu, ada juga pertanyaan etis dan geopolitik terkait siapa yang memiliki kendali atas cuaca. Misalnya, intervensi cuaca di satu wilayah bisa berdampak pada wilayah lain, terutama jika dilakukan di perbatasan negara.
Di Indonesia, teknologi modifikasi cuaca sudah sering digunakan, terutama untuk mengatasi masalah bencana seperti kebakaran hutan dan lahan (karhutla), banjir, dan untuk menjaga pasokan air di daerah pertanian.
BMKG bekerja sama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sering melakukan operasi modifikasi cuaca di wilayah yang rawan kebakaran hutan atau menghadapi musim kemarau panjang.
Sejak beberapa tahun terakhir, modifikasi cuaca juga dilakukan untuk menjaga stabilitas sektor pertanian, terutama di wilayah sentra pangan yang rentan terhadap kekeringan atau cuaca ekstrem yang dapat mengganggu produktivitas hasil tani.
Seiring dengan meningkatnya frekuensi cuaca ekstrem akibat perubahan iklim, penggunaan teknologi ini diproyeksikan akan terus berkembang di masa mendatang.
MICHELLE GABRIELA | NANDITO PUTRA
Pilihan Editor: BMKG Modifikasi Cuaca di Aceh, Cegah Hujan Ekstrem Ganggu PON XXI