TEMPO.CO, Jakarta - Dugaan teror lewat ledakan ribuan perangkat komunikasi penyeranta atau pager di Lebanon mengingatkan Curie Maharini Savitri, Dosen Hubungan Internasional di Binus University, kepada serangan siber Stuxnet yang dikembangkan awalnya untuk menyerang instalasi nuklir milik Iran. Serangan lewat worm jahat itu terungkap pertama kali pada 2010 lalu.
Curie menunjuk kesamaan di antara keduanya yakni sabotase melibatkan teknologi komersil yang tidak didesain untuk menjadi senjata. Bedanya, serangan Stuxnet disebut Curie senyap. Ketika itu, menurut dia, dampak yang ditimbulkan memakan waktu lama, agar tidak menimbulkan kecurigaan sehingga sulit untuk atribusi dan serangan balasan.
"Stuxnet berkarakter seperti itu karena AS yang membantu Israel ingin menghindari perang dengan Iran yang dianggap mengembangkan kemampuan nuklir untuk menyerang. Tapi serangan ini sangat presisi hanya mengenai instalasi," kata Curie saat dihubungi, Kamis 19 September 2024.
Sebaliknya untuk dugaan serangan dengan pager dan yang terkini walkie talkie di Lebanon. Karakternya disebut terbalik 180 derajat dengan serangan Stuxnet. Menurut Curie, serangan di Lebanon tidak presisi karena bisa mengenai siapa saja yang sedang memegangnya, termasuk orang di sekitarnya. Kejadian ledakan serentak pada sore hari juga dipastikan menimbulkan korban masyarakat umum.
"Jadi serangan ini bukan ingin menghindari perang, tapi teror yang diciptakan untuk memprovokasi perang. Kita sama-sama tahu siapa yang mampu melakukan itu, dan kemungkinan ada bantuan negara lain juga," ucapnya.
Orang-orang berkumpul di luar rumah sakit ketika lebih dari 1.000 orang termasuk pejuang Hizbullah dan petugas medis terluka setelah pager yang mereka gunakan untuk berkomunikasi meledak di seluruh Lebanon, di Beirut, Lebanon, 17 September 2024. Ledakan massal itu terjadi di tengah serangan lintas batas antara Hizbullah dan Israel dengan latar belakang serangan brutal Israel di Jalur Gaza, yang telah menewaskan lebih dari 41.200 orang, sebagian besar wanita dan anak-anak, menyusul serangan Hamas pada 7 Oktober tahun lalu. REUTERS/Mohamed Azakir
Seperti diketahui, ledakan ribuan pager pada hari pertama menewaskan 12 orang termasuk dua anak-anak serta melukai lebih dari 2000 orang lainnya. Sedangkan rangkaian ledakan pada walkie talkie pada hari kedua menewaskan 20 orang dan menyebabkan 450 luka-luka.
Menurut Curie, pelajaran yang bisa didapatkan dari dua kejadian di Lebanon itu adalah bahwa adaptasi teknologi bisa dilakukan untuk konflik dan perang. Hal ini, kata dia, serupa dengan penggunaan drone atau UAV sipil dalam perang Ukraina-Rusia. Dampaknya, dia menambahkan, timbul ketidakpercayaan yang meluas terhadap teknologi yang tadinya damai.
"Orang asumsikan semua pager dan handheld device bisa ditanami bom," katanya sambil juga menambahkan implikasi lain yang mungkin dialami negara lain yang menjadi bagian dari rantai produksi perangkat tersebut, seperti Taiwan--negara asal pager Gold Apollo. "Sekarang siapa yang mau beli alat dari Taiwan dengan kejadian seperti ini meski ada laporan intelijen yang menyatakan produksinya di Hungaria, bukan Taiwan?" katanya.
Pilihan Editor: Babak Baru Proyek Mobil Terbang PTDI dan Vela