TEMPO.CO, Massachusettss – Sebuah tengkorak manusia parsial ditemukan di sebuah situs di Kenya menunjukkan manusia purba yang hidup di Afrika ternyata sangat beragam. Tengkorak berumur 22 ribu tahun ini memang bukan dari spesies baru, tapi diduga merupakan temuan yang serupa ditemukan Afrika dan Eropa dari waktu yang sama.
“Ini mungkin keturunan dari garis yang hilang,” kata anggota penelitian, Christian Tryon, seorang pakar arkeologi prasejarah dari Harvard University, seperti dikutip dari Livescience, Senin, 23 Februari 2015. Temuan ini dirilis dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences.
Bersama rekan penelitiannya, Tryon juga menemukan kulit telur burung unta berumur 46 ribu tahun yang telah dibuat manik-manik. Banyaknya temuan ini, menurut dia, bisa mengungkapkan wawasan tentang pergeseran budaya manusia yang berlangsung sekitar 50 ribu tahun lalu.
Tryon bercerita, sekitar 12 ribu tahun lalu manusia mulai bercocok tanam di dekat pemukiman mereka, yang juga berdekatan dengan makam. “Karena itu mungkin banyak ditemukan kerangka manusia purba yang berlimpah,” Stanley Ambrose, pakar paleoantropologi dari University of Illinois, yang tak tergabung dalam penelitian.
Meski begitu, masih relatif sedikit yang diketahui tentang manusia yang datang sebelum mereka. Hanya segelintir manusia purba dari rentang tahun 12 ribu sampai 30 ribu yang informasinya baru diketahui dari kompleks pemakaman manusia purba itu.
Untuk mempelajari lebih lanjut tentang masa yang hilang ini, Tryon membandingkan fosil yang ditemukan di Lukenya Hill ini dengan dua spesimen fosil koleksi Museum Nasional Kenyai di Nairobi. Lukenya Hill merupakan tanjung batu granit yang menghadap sabana di Kenya.
Spesimen ini juga dibandingkan dengan tengkorak dari situs Kenya lainnya. Tim juga membandingkan tengkorak tersebut dengan beberapa tengkorak manusia Neanderthal dan beberapa tengkorak manusia purba lain.
Meski secara anatomis tengkorak tersebut mirip dengan manusia Homo sapiens, Tryon menjelaskan, tapi tengkorak tersebut memiliki dimensi berbeda dengan tengkorak H. sapiens lain yang ditemukan di Eropa dan Afrika belahan berbeda. Tengkorak tersebut, kata dia, memiliki tulang yang cukup tebal.
“Namun tidak cukup bukti bahwa tengkorak ini merupakan manusia dari subspesies lain,” kata Tryon. Melihat umur tengkorak yang sekitar 22 ribu tahun, Tryon menjelaskan manusia purba ini hidup selama puncak zaman es terakhir. Afrika modern, menurut dia, memang memiliki keragaman genetik yang lebih besar dari populasi lain.
Keragaman tersebut juga terlihat dari ditemukannya cangkang telur burung unta yang dibuat manik-manik, serta pisau batu kecil—sering disebut dengan teknologi Levallois. Artefak-artefak tersebut, kata Tryon, berumur sekitar 22 ribu sampai 46 ribu tahun.
Selama periode tersebut, Ambrose mengatakan, manusia mulai intensif menggunakan rute perjalanan rumit yang cukup jauh sampai ke Afrika Utara. Motif manik-manik dan alat batu yang sama juga ditemukan di Mesir dengan umur sekitar empat ribu tahun. “Hanya, ukurannya lebih kecil dan cukup beracun,” ujarnya.
Penemuan fragmen fosil dari Lukenya Hill ini, menurut Ambrose, merupakan temuan penting. Sebab, temuan tersebut dapat mengisi bukti peradaban manusia yang sempat hilang.
LIVESCIENCE | AMRI MAHBUB