TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Thomas Djamaluddin mengatakan rumor 28 September 2015 terjadi kiamat dengan pertanda bulan merah adalah keliru. Menurut dia, rumor tersebut tidak memiliki dasar ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.
"Gerhana bulan total yang disebut blood moon adalah fenomena alam biasa," ucap Thomas saat dihubungi Tempo, Rabu, 9 September 2015.
Ia berujar, blood moon atau gerhana bulan merah darah terjadi karena cahaya matahari dihamburkan atmosfer bumi hingga menuju bulan. Gerhana bulan ini terjadi saat bulan melewati bumi. "Jika saat itu atmosfer bumi sedang cerah, akan terlihat merahnya. Tapi, jika saja atmosfer tercemar, misalnya, oleh abu gunung berapi, tidak akan terlihat merahnya," ujarnya.
Ia meminta masyarakat tak mempercayai rumor yang mengaitkan gerhana dengan fenomena tertentu, seperti kiamat. "Memang ada yang mengaitkan dengan gempa, tapi kan tidak selalu ada gempa setiap kali muncul gerhana," tuturnya. Hingga saat ini, kata Thomas, gerhana bulan dan matahari sama sekali tak ada kaitannya dengan fenomena alam lain.
Di sejumlah situs berita online asing, topik gerhana bulan pada 28 September mendatang diulas dalam beberapa tulisan. Sebab, beberapa penganut teori konspirasi memperkirakan kiamat akan datang pada 22-28 September. Salah satu penandanya adalah penduduk bumi akan melihat warna bulan berubah menjadi merah darah.
Tak hanya gerhana bulan saja, para penganut teori ini juga memprediksi akan ada sebuah asteroid yang bertabrakan dengan bumi. Namun, menurut Thomas, pengamatan asteroid yang mengancam bumi merupakan pengamatan internasional. "Dapat saya katakan, hingga seratus tahun mendatang, tidak ada tanda-tanda asteroid besar akan mengancam bumi," katanya.
DINI PRAMITA
Baca juga:
Kiamat pada 28 September 2015? Tiga Hal yang Terjadi di Langit Saat Itu