Pada 2015, kata dia, tingkat kebutuhan bahan bakar minyak Indonesia 1,5 juta barel per hari. Padahal produksi nasional hanya sebesar 800 ribu barel per hari. Artinya, Indonesia masih harus mengimpor 700 barel atau sama dengan 46 persen dari total kebutuhan nasional.
Data Satuan Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi pada 2015 menyebutkan, Indonesia telah menghabiskan US$ 500 juta atau Rp 6,5 triliun untuk mengimpor bahan bakar minyak. Ia juga menyitir pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral ketika itu, Sudirman Said, bahwa cadangan minyak Indonesia bisa bertahan hanya hingga 12 tahun mendatang. Artinya, bisa jadi pada 2045 semua kebutuhan bahan bakar Indonesia harus dipenuhi lewat impor.
Melihat situasi itu, Sulfahri memikirkan pentingnya energi alternatif. Sebelum melirik alga, Sulfahri sempat berpikir bahwa singkong bisa menjadi sumber energi.
Baca: Tokoh 17 Agustus: Shinatria, Arkeolog Penemu Kapal Selam Nazi
Rupanya, alga memiliki lebih banyak keunggulan. Menurut Sulfahri, hanya 30 persen struktur singkong yang bisa dimanfaatkan untuk pengolahan energi, yaitu umbinya saja. Akar, batang, dan daun singkong tidak bisa dijadikan sumber bahan bakar. Sebaliknya, seluruh alga bisa diolah dengan bantuan fotosintesis.
Melimpahnya sinar matahari di negeri ini pun sangat menguntungkan reproduksi alga. Dari segi perkembangbiakan, alga Spirogyra pun lebih unggul. Sementara singkong baru bisa dipanen pada usia 6-10 bulan, alga bisa digunakan pada usia dua pekan. "Paling efektif memang mengembangkan alga," ucapnya.
Baca: Tokoh 17 Agustus, Shinatria: Arkeolog Itu Penambal Sejarah
Selanjutnya: Sedang berkompetisi