Membandingkan Uji Obat Covid-19 Unair dan Dexamethasone Oxford
Reporter
Tempo.co
Editor
Zacharias Wuragil
Kamis, 20 Agustus 2020 16:56 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pengawas Obat dan Makanan atau BPOM telah memutuskan menunda memberi izin edar obat Covid-19 temuan tim peneliti Universitas Airlangga Surabaya. Alasannya, hasil uji klinis belum valid karena sejumlah temuan kritis menyangkut pengacakan uji, aspek efikasi, dan efek samping obat.
Keputusan BPOM sesuai harapan sejumlah kalangan peneliti lain. Mereka yang sebelumnya mempertanyakan akses atas detail hasil penelitian dan uji klinis terhadap kombinasi obat temuan tim di Unair tersebut. Mereka juga mengingatkan pentingnya prosedur review dan publikasi ilmiah yang harus dilalui tim penemu.
Di antara kalangan itu adalah Wien Kusharyoto dari Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Menurutnya, ramai kritik yang datang tidak terkait dengan cepatnya penelitian yang dilakukan tim dari Unair itu. "Tapi penetapan kriteria pasien yang ditangani seperti apa?" katanya pada Rabu 19 Agustus 2020.
Seperti diketahui, tim peneliti dari Unair yang didukung Badan Intelijen Negara baru mengumumkan penemuan lima kombinasi obat yang dianggap potensial menyembuhkan pasien Covid-19 pada Juni lalu. Pada pekan lalu mereka sudah muncul kembali di hadapan publik, mengumumkan hasil uji klinis telah dilakukan dan menyebut temuan obat Covid-19 pertama di dunia.
Tim mengatakan kalau, dalam uji, ada kombinasi obat yang efektivitasnya mencapai 98 persen. Yang paling rendah di angka 92 persen. Seluruhnya disebutkan berasal dari sampel yang diambil secara acak di antara pasien non ventilator.
Baca juga:
Ini Penelitian Obat Covid-19 dari Kombinasi Obat yang Sudah Ada
Tanpa ada pemaparan detail hasil pengujian itu dan juga metodenya, Wien ragu semua atau sebagian kombinasi obat yang diuji efektif untuk mengobati Covid-19 sesuai isi pengumuman. Terlebih, kata Wien, tak ada penjelasan tentang kriteria pasien yang dilibatkan sebagai responden dalam uji klinis, apakah mereka berada di awal infeksi, pertengahan atau sudah tergolong terinfeksi berat.
Yang terjadi justru pernyataan adanya orang tanpa gejala atau asimptomatik di antara respondennya. "Itu tidak boleh diterapkan ke OTG. Kriteria inklusi pasien Covid-19 harus diperhatikan," kata Wien.
<!--more-->
Wien mencontohkan uji terhadap dexamethasone sebagai obat Covid-19 oleh tim peneliti di Oxford University, Inggris. Obat steroid yang biasa digunakan untuk segala macam peradangan itu spesifik hanya untuk pasien terinfeksi berat virus corona Covid-19.
Dalam tubuh pasien-pasien itu, Wien menjelaskan, jumlah virus sudah berkurang dan sistem imun tubuhnya menyerang balik. "Nah, ditangani dengan menyerang sistem imun tersebut...jelas peran dexamethasone di sana."
Kriteria pasien yang disasar pun dianggapnya jelas. "Tidak boleh diberikan kepada mereka yang hanya terinfeksi ringan atau di masa awal infeksi karena malah membahayakan sistem imun tubuhnya."
Telah banyak digunakan di banyak negara, dexamethasone menjadi obat kedua yang telah terbukti mampu mengurangi infeksi Covid-19 setelah yang pertama adalah remdesivir. Obat dewa, dexamethasone, teruji mampu mengurangi risiko kematian hingga 35 persen pada pasien Covid-19 yang telah bergantung kepada ventilator. Di luar ventilator, obat ini juga ditemukan mampu mengurangi risiko kematian hingga 20 persen.
Menurut Wien, pada uji klinis kombinasi obat oleh tim Unair tak tersedia kejelasan yang sama. Apalagi, peneliti vaksin dan obat itu menilai, tim menggunakan kombinasi obat pencegah virus corona bereplikasi dan penekan imun. Kombinasi itu, menurutnya, rumit.
Baca juga:
Kombinasi 3 Obat Bisa Kalahkan Covid-19, Interferon Jadi Kunci?
"Ini yang terjadi seperti pukul rata semua pasien," katanya sambil menambahkan, Unair harus membuka datanya, misalnya dipublikasikan supaya bisa direview.
Wien menekankan, ramai kritik bukan karena iri atau ego sektoral seperti yang banyak didengungkan oleh mereka yang pro percepatan izin edar temuan obat tersebut. "Tapi ini menyangkut nyawa pasien. Jangan sampai pasien dirugikan oleh penanganan yang salah," katanya.