Edisi Akhir Tahun Tempo: Para Pejuang Vaksin di Lapangan
Reporter
TEMPO
Editor
Zacharias Wuragil
Selasa, 28 Desember 2021 04:27 WIB
Steven De Nachs
Steven De Nachs adalah satu-satunya dokter di Puskesmas Sarereiket di pedalaman Mentawai, Sumatera Barat, yang wilayah kerjanya meliputi dua desa: Madobag dan Matotonan. Pemuda berusia 27 tahun ini mengisahkan pernah mendapat pengalaman tak mengenakkan, dikelabui masyarakat setempat untuk pelaksanaan vaksinasi.
Di tengah gencarnya upaya vaksinasi Covid-19 secara massal, masyarakat memintanya untuk membawakan vaksin untuk vaksinasi di gereja di Madobag, seusai ibadah Minggu. Mereka menyatakan kesediaannya disuntik setelah bajak atau pengurus gereja membantu mendorong para jemaatnya tersebut.
“Lima menit sebelum ibadah selesai saya ke luar duluan dari gereja dan pergi mengambil vaksin, tapi ketika saya sampai di gereja lagi ternyata semua jemaat sudah pulang dan tersisa Bajak Gereja seorang diri. Vaksinasi pun gagal,” kata Steven sambil tertawa.
Sejak saat itu, ia dan dua tenaga kesehatan yang membantunya di Puskesmas Sarereiket memutuskan mengubah pendekatan kepada masyarakat setempat. Steven tidak pernah lagi memaksakan warga agar datang ke satu lokasi seperti gereja, apalagi puskesmas, untuk divaksin.
Jika ada warga yang mau divaksin, barulah Steven mendatanginya di dusun tempat mereka tinggal. Itu artinya Steven harus siap bolak-balik pula menjemput stok dosis vaksin yang akan disuntikkan ke Puskesmas Muara Siberut, di ibu kota Kecamatan Siberut Selatan. Di sinilah, stok vaksin jatah Sarereiket disimpan.
Dari Muara Siberut, vaksin disimpan dalam coldbox dan dibawa menggunakan sepeda motor lewat darat melalui Dusun Rogdog, Madobag, yang ditempuh selama satu jam. Dari Rogdog, perjalanan masih mungkin dilanjutkan dengan sepeda motor, tapi lebih sering disambung naik pompong (perahu kecil dengan mesin tempel) lewat sungai selama satu jam.
Dengan cara itu, vaksin yang dibawa bisa dipakai habis di dusun tujuan. Kalaupun masih ada yang bersisa, vaksin akan dititip di kulkas milik sebuah warung di Madobag karena tak tersedia di Puskesmas Sarereiket. Persoalan pasokan listrik yang hanya ada malam, pukul 18-23 WIB, disiasati dengan memindahkan vaksin ke freezer dalam kulkas saat listrik sudah terputus. “Jadi vaksin tetap dingin,” kata Steven.
Dokter kelahiran Padang pada 26 April 1994, putra dari seorang bidan, ini menyadari besarnya resistensi masyarakat di pedalaman yang dihadapinya tersebut terhadap fakta wabah Covid-19. Ia masih ingat saat pertama bertugas di Puskesmas Sarereiket Juli tahun lalu, tepat saat Covid-19 di Tanah Air sedang menggila.
“Saat mereka lihat saya lewat pakai masker, mereka langsung berteriak, ‘tak anai (tidak ada) corona di sini dokter’,” kata Steven.
Pun saat vaksinasi. Menurut pemilik akun Dokter Mentawai di kanal YouTube ini, masih banyak yang menolak karena tak menganggap Covid-19 berbahaya. Padahal kasus terkonfirmasi positif tak terkecuali telah menjamah warga Desa Madobag dan Matotonan. Steven menghitung tak kurang dari enam kasusnya yang tercatat sepanjang tahun ini.
Seluruhnya berhasil sembuh kembali dan sebagian tanpa menunjukkan gejala. Kalaupun yang mengalami gejala seperti anosmia (hilangnya indera penciuman) dianggap gejala yang biasa dialami menjelang musim buah. “Bukan karena corona,” kata Steven.
Menghadapi keyakinan itu, Steven beralih mengedepankan sasaran vaksinasi kepada murid sekolah SD dan SMP yang ada di Madobag dan Matotonan. Murid SD banyak yang divaksin karena telah berusia 12 tahun atau lebih. Dia mengungkapkan, tidak ada kendala dalam memberikan vaksin ke kelompok ini dan bisa langsung mencakup 100 persen.
Sedang kepada orang dewasanya, Steven kini mengandalkan menitip ajakan melalui beberapa sikerei, ahli pengobatan tradisional dan tokoh ritual, yang sudah mau divaksin. Seperti yang dilakukannya melalui Ogo Toitet Samoanmuntei. Pria berusia 60 tahun ini adalah sikerei pertama yang bersedia divaksin, itupun baru terjadi pada 8 Desember lalu.
Pada hari itu Ogo Toitet meringis saat lengan kanannya disuntik oleh Steven. “Hanya sakit sedikit," katanya setelahnya. Dia ditemani seorang sikalabai (istri sikerei) yang tampak cemas menunggu giliran divaksin. Dia juga meringis sambil memejamkan matanya kuat-kuat saat disuntik.
Steven tersenyum puas melihat keduanya. Menurutnya, kehadiran Ogo Toitet berpengaruh untuk kehadiran peserta vaksinasi di Desa Matotonan pada pagi itu yang sebanyak 160 orang. Terbit harapan sang dokter muda bahwa cakupan vaksinasi bakal segera meningkat dari saat ini yang masih sekitar 40 persen.