TEMPO.CO, Jakarta - Dalam usaha mengenalkan karbon biru (blue carbon) secara lebih jauh, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) bersama Pusat Penelitian Kehutanan Internasional atau CIFOR, menyelenggarakan Blue Carbon Summit pada 17-18 Juli 2018 di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Jakarta Pusat.
Tapi, apakah sebenaranya karbon biru itu?
Baca juga: Blue Carbon bagi Warga Pesisir
Karbon biru merupakan karbon yang ditangkap dan disimpan di samudra dan ekosistem pesisir, termasuk karbon pantai yang tersimpan di lahan basah pasang surut, seperti hutan yang dipengaruhi pasang surut, bakau, rawa pasang surut dan padang lamun, di dalam tanah, biomassa hidup dan sumber karbon biomassa yang tidak hidup. Seperti namanya, karbon ini berwarna biru.
"Karena terbentuk di bawah air," begitu keterangan yang diterima Tempo.co, Selasa, 17 Juli 2018. Karbon biru dianggap penting, sebab ekosistemnya adalah penyerap karbon yang efektif. Mereka dapat memainkan peran utama dalam memenuhi target nasional dan global tentang perubahan iklim.
Lahan basah pesisir yang ada memiliki simpanan karbon biru yang sangat besar, sementara lahan basah yang telah dibuka akan melepaskan karbon ke atmosfer. Karena itu, pengelolaan ekosistem yang baik merupakan hal yang tak kalah penting.
Baca juga: Mengenal Karbon Biru Lewat Blue Carbon Summit 2018
Sama seperti jenis hutan lainnya, nilai dari hutan berbasis air atau lahan basah di mana karbon biru disimpan bergantung pada pengelolaan berskala lanskap. Pengelolaan yang baik akan mempertahankan nilai-nilai keanekaragaman hayati, layanan ekosistem, pembangunan ekonomi, kesejahteraan manusia dan nilai lain dari hutan tersebut. Tetapi, sementara aspek biofisik dari ekosistem karbon biru mendapatkan perhatian, rincian tata kelola dan manajemen mereka relatif belum dijelajahi.
Di Tanzania dan Indonesia, negara-negara dengan beberapa kawasan hutan mangrove terbesar di dunia, penelitian terbaru sebagai bagian dari Studi Komparatif Global yang diarahkan CIFOR tentang Reformasi Kepemilikan Hutan (GCS-Tenure) menemukan bahwa, seperti di hutan terestrial, hutan mangrove dapat sangat bermanfaat.
Hutan mangrove, yang merupakan ekosistem kaya karbon yang dapat menampung hingga tiga kali lebih banyak karbon per hektar sebagai hutan terestrial. Ketika dilindungi dan dipulihkan, dengan materi organik terkunci di tanah mereka, mangrove dan lahan basah lainnya bertindak sebagai 'penyerap karbon' yang efektif, menawarkan potensi besar untuk mengurangi perubahan iklim.
"Karbon mangrove kita itu tiga miliar ton, stoknya, di seluruh Indonesia," ujar Daniel Murdiyarso, salah seorang peneliti CIFOR saat ditemui di acara Blue Carbon Summit, 17 Juli 2018. Ia juga menambahkan, setidaknya 200 juta ton karbon mangrove yang hilang per tahun. Hilangnya karbon terjadi akibat penebangan, pengonversian, serta ekskavasi di wilayah mangrove. "Kalau laju (deforestasi)-nya seperti ini, 10-15 tahun akan habis," jelas Daniel.
Baca juga: Indonesia Kembangkan Blue Carbon dengan Australia
Simak artikel menarik lainnya tentang blue carbon hanya di kanal Tekno Tempo.co.
MUHAMMAD ABI MULYA | AMB