TEMPO.CO, Jakarta - Suhu laut dunia naik lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya karena mereka menyerap sebagian besar emisi yang mengubah iklim di dunia, kata para ilmuwan, sebagaimana dilaporkan Daily Mail, 10 Januari 2019.
Baca: Susi Pudjiastuti: RI Penyumbang Sampah Laut Terbesar Kedua Dunia
Panas laut - yang direkam oleh ribuan robot terapung - telah mencatat rekor berulang kali selama dekade terakhir, dengan 2018 diperkirakan akan menjadi tahun terpanas, menggantikan rekor 2017, menurut analisis oleh Chinese Academy of Sciences.
Hal itu mendorong naiknya permukaan laut, saat lautan menghangat dan mengembang, dan membantu memicu badai yang lebih hebat dan cuaca ekstrem lainnya, para ilmuwan memperingatkan.
Pemanasan tersebut, yang diukur sejak 1960, lebih cepat dari yang diperkirakan oleh para ilmuwan dalam laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim 2013 yang mengamati pemanasan laut, menurut penelitian yang diterbitkan minggu ini di jurnal Science.
"Ini terutama didorong oleh akumulasi gas rumah kaca seperti karbon dioksida di atmosfer akibat aktivitas manusia," kata Lijing Cheng, penulis utama studi dari Chinese Academy of Sciences. "Meningkatnya laju pemanasan lautan 'hanyalah tanda dari meningkatnya gas rumah kaca di atmosfer."
Para ilmuwan iklim terkemuka mengatakan pada bulan Oktober bahwa dunia memiliki sekitar 12 tahun lagi untuk membuat dunia menjauh dari emisi yang meningkat menuju sistem energi terbarukan yang lebih bersih, atau berisiko menghadapi beberapa dampak terburuk dari perubahan iklim.
Risiko itu termasuk kekurangan air dan makanan yang memburuk, badai yang lebih kuat, gelombang panas dan cuaca ekstrem lainnya, dan naiknya permukaan laut.
Selama 13 tahun terakhir, sistem pengamatan laut yang disebut Argo telah digunakan untuk memantau perubahan suhu lautan, kata Cheng, yang mengarah ke data yang lebih andal yang menjadi dasar bagi catatan panas lautan baru.
Sistem ini menggunakan hampir 4.000 robot laut yang menyelam hingga kedalaman 2.000 meter setiap beberapa hari, merekam suhu dan indikator lainnya saat kembali ke permukaan.
Melalui data yang dikumpulkan, para ilmuwan telah mendokumentasikan peningkatan intensitas curah hujan dan badai yang lebih kuat seperti badai Harvey pada 2017 dan Florence pada 2018.
Cheng menjelaskan bahwa lautan adalah sumber energi untuk badai, dan dapat menjadi bahan bakar yang lebih kuat karena suhu naik.
Badai selama periode 2050-2100 diperkirakan, secara statistik, akan lebih kuat daripada badai dari periode 1950-2000, kata ilmuwan.
Cheng mengatakan bahwa laut, yang sejauh ini menyerap lebih dari 90 persen energi matahari tambahan yang terperangkap oleh meningkatnya emisi, akan mengalami kenaikan suhu yang berkelanjutan di masa depan.
DAILY MAIL | GLOBAL NEWS