TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia menjadi negara dengan jumlah perangkat lunak atau software bajakan terbanyak kedua se-Asia Pasifik. Itu sebabnya, Indonesia menjadi target utama perusahaan perangkat lunak non-profit dari Amerika Serikat, BSA The Software Alliance dalam rangka pengurangan jumlah perangkat lunak bajakan.
Jual Software Bajakan Secara Online, Untung Rp 50 Juta Sebulan
Selain Indonesia, 3 negara lain yang menjadi target perusahaan tersebut, yaitu Thailand, Filipina, dan Vietnam.
Direktur Senior BSA, Tarun Sawney, mengungkapkan ada tiga strategi yang akan diterapkan baik di Indonesia maupun di tiga negara lainnya terkait dengan upaya pengurangan penggunaan software bajakan.
“Meningkatkan kesadaran masyarakat, mengedukasi para pemimpin bisnis, dan menciptakan kooperasi antara sektor publik dan sektor privat,” ujar Tarun dalam acara bertajuk Legalize and Protect di Jakarta, Senin, 18 Maret 2019.
Menurut dia, ada 3 hal yang mengharuskan pihak korporasi menggunakan perangkat lunak berlisensi. Pertama, penggunaan perangkat lunak berlisensi dapat meningkatkan produktivitas perusahaan.
Kedua, penggunaan perangkat lunak berlisensi dapat meningkatkan keamanan data. Ketiga, penggunaan perangkat lunak berlisensi dapat melindungi reputasi perusahaan.
Berdasarkan data yang dirilis BSA, persentase penggunaan perangkat lunak bajakan di Tanah Air pada 2017 tercatat sebagai yang tertinggi kedua untuk kawasan Asia Pasifik, yakni 83%. Angka tersebut sama dengan Pakistan yang juga memiliki persentase 83%.
Pada tahun yang sama, jumlah kerugian akibat penggunaan perangkat lunak tanpa lisensi di Indonesia mencapai US$1,095 juta.
Meskipun menunjukkan penurunan dibandingkan dengan dua tahun sebelumnya, yakni US$1,145 juta, akan tetapi hal tersebut tidak mengubah posisi Indonesia sebagai negara terbanyak kedua yang menggunakan software bajakan di Asia Pasifik.