TEMPO.CO, Jakarta - Pemakaian bioplastik atau plastik dari bahan baku alami tidak akan menghilangkan masalah sampah plastik yang berdampak kepada lingkungan. Penggiat dari lembaga swadaya masyarakat lingkungan hidup Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL) dan Greenpeace Indonesia menyampaikan itu dalam konferensi pers virtual dipantau dari Jakarta, Senin.
"Bioplastik tidak bisa dibilang didesain untuk digunakan berulang kali, bisa dilihat dari pemasarannya yang membawa citra dapat dengan mudah terurai di alam atau dikompos," kata Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan ICEL Fajri Fadhillah.
Baca juga:
Mahasiswa Unej Bikin Bioplastik dari Singkong, Bisa Dimakan
LIPI Kembangkan Plastik dari Limbah Sawit, Terurai dalam 3 Bulan
Menurut Fajri, pihak yang mempromosikan penggunaan bioplastik sendiri masih mempertahankan budaya sekali pakai, atau memakai produk hanya dalam waktu singkat dan kemudian dibuang. Betapapun bisa terurai, perilaku sekali pakai sama saja menambah produksi sampah.
"Itu dikuatkan dengan laporan dari Program Lingkungan PBB pada 2015 yang menemukan bahwa adopsi secara luas bahan itu tidak akan mengurangi secara signifikan volume sampah plastik di laut atau risikonya untuk lingkungan laut."
Bioplastik yang dibuat dari bahan seperti jagung dan tebu, Fajri memaparkan, biasanya digunakan sebagai pembungkus makanan dan botol plastik, serta merupakan sumber bioplastik termurah sehingga sering ditemukan di pasaran. Namun, proses penguraiannya dalam waktu singkat membutuhkan tingkat kelembapan dan panas tertentu.
Temperatur tinggi yang dilakukan dalam industri kompos, misalnya, sulit dilakukan dalam skala rumah tangga. Tidak hanya itu, secara tidak langsung penggunaan bioplastik secara masif akan menimbulkan ancaman risiko terhadap berkurangnya lahan.
Baca juga:
KKP Kembangkan Bioplastik: Tak Jadi Limbah Malah Menambah Gizi
"Secara jangka panjang untuk memproduksi bio-based ini mememang komoditas pangan dan kita tahu memang ketika diplot sebagai subtitusi yang diproduksi secara massal pengganti kantong plastik akan menjadikan masalah baru bagi ketersediaan lahan," kata juru kampanye Urban Greenpeace Indonesia, M. Atha Rasyadi.
Atha menekankan jika bioplastik dilihat sebagai solusi utama menggantikan plastik yang dibuat dari minyak bumi, "Bisa jadi ke depannya muncul masalah kebakaran hutan dan permasalahan lahan lainnya untuk menghasilkan tanaman bahan dasar plastik itu."