TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengatakan memprediksi gempa dengan hanya mengukur konsentrasi gas radon dan level air tanah ibarat tes Covid-19 hanya dengan mengukur suhu. Seperti diketahui, gejala Covid-19 kini diketahui telah berkembang lebih dari sekadar demam, batuk dan sesak napas.
Menurut Daryono, begitu pula dengan mengukur dan memperkirakan gempa, ada lebih banyak parameter dan alat ukur yang dibutuhkan. Dia menyebut seperti tilt meter dan strain meter. Lalu menyarankan pula agar pengukuran terintegrasi, di antaranya, dengan magnet bumi.
BMKG, kata Daryono, memiliki atau melakukan semua pengukuran itu di stasiunnya di Yogyakarta sejak 2010. Dengan peralatan yang disebutnya lengkap itu, dia mengatakan hasil yang didapat terkait prediksi gempa bumi belum memberi hasil yang konsisten. "Kita belum berani publish," katanya.
Daryono menuturkan itu lewat akun pribadi di twitter--yang biasa digunakannya untuk menyampaikan informasi dan kebijakan mengenai kegempaan, Minggu 28 September 2020. Dia membandingkannya dengan metode algoritma sistem peringatan dini gempa yang dikembangkan tim peneliti di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Tim peneliti itu menyatakan mampu memprediksi setiap peristiwa gempa dari Aceh sampai NTT. Untuk gempa yang besar, lebih dari 6,0 Magnitudo, alat yang dikembangkan bahkan bisa mengirim peringatan hingga dua minggu sebelumnya. Semua itu 'hanya' dengan lima alat yang tersebar di sekitaran Yogyakarta.
"Jika seandainya terpasang di antara Aceh hingga NTT, kita dapat memperkirakan secara lebih baik," kata Ketua Tim Riset Laboratorium Sistem Sensor dan Telekontrol Departemen Teknik Nuklir dan Teknik Fisika UGM, Profesor Sunarno, seperti dikutip dari situs web UGM, Minggu 27 September 2020.
Tim peneliti Universitas Gadjah Mada (UGM) mengembangkan sistem peringatan dini gempa bumi yang mampu mendeteksi terjadinya gempa bumi 1-3 hari sebelumnya. Kredit: ugm.ac.id
Sunarno menjelaskan sistem peringatan dini gempa yang dikembangkannya bersama tim tersebut bekerja berdasarkan perbedaan konsentrasi gas radon dan level air tanah yang merupakan anomali alam sebelum terjadinya gempa bumi. Memanfaatkan IoT, dia menambahkan, "Dua informasi ini dideteksi oleh alat EWS dan akan segera mengirim informasi ke handphone saya dan tim."
Teknik atau metode itu yang disebut Daryono juga telah dilakukan BMKG sejak 2010 namun belum memberi hasil konsisten sehingga belum dipublikasikan. Itu membuat, "Kami tidak bilang bisa memprediksi gempa."
Baca juga:
UGM Bangun Sistem Peringatan Dini Gempa, Bisa Deteksi H-3 Sampai H-14
Sedang terhadap kemampuan berbeda yang diumumkan Sunarno dan timnya, Daryono hanya berujar singkat. "Bagus jika sudah bisa dan mohon diinfokan kepada kami dan masyarakat, apalagi jika akan ada gempa dengan kekuatan di atas 6,0 kita amati bersama," cuitnya.