TEMPO.CO, Jakarta- Sebuah studi baru menemukan kenapa kasus penggumpalan darah ditemukan di separuh jumlah pasien yang terinfeksi parah Covid-19 di rumah sakit. Penyebabnya diduga adalah antibodi autoimun yang beredar dalam darah, menyerang sel-sel dan memicu penggumpalan dalam pembuluh darah arteri, vena, dan pembuluh mikroskopis.
Penggumpalan darah sudah dapat diketahui dampak selanjutnya, yakni dapat menyebabkan stroke yang fatal. Dan, dalam kasus Covid-19, penggumpalan yang mikroskopis mungkin untuk membatasi aliran darah di paru-paru, melumpuhkan kemampuan transaksi oksigen di sana.
Di luar pengaruh infeksi virus corona, antibodi penyebab penggumpalan darah ini bisa ditemukan pada pasien dengan penyakit autoimun sindrom antiphospholipid. Sindrom ini disebabkan sistem kekebalan tubuh justru menyerang sel-sel yang sehat karena salah mendeteksinya sebagai organisme asing seperti bakteri atau virus.
"Koneksi antara autoimun antibodi ini dengan Covid-19 tak terduga sebelumnya," kata anggota tim studi baru itu, Yogen Kanthi, asisten profesor di Pusat Penyakit Jantung di Michigan Medicine Frankel, juga peneliti di Institut Darah, Paru-paru, dan Jantung Nasional Amerika Serikat.
Dalam keterangan yang dibagikan 2 November 2020, Kanthi dan timnya mengatakan mendapati siklus yang menguat antara peradangan dan penggumpalan darah dalam tubuh pasien Covid-19. Mereka di antaranya mendapati itu saat memeriksa sampel darah dari 172 pasien.
"Sekarang kami memahami kalau autoantibodi mungkin ada di balik lingkaran kejadian penggumpalan darah dan peradangan yang membuat perjuangan si pasien semakin berat karena kondisinya semakin parah."
Ahli rheumatologi di Michigan Medicine, Jason Knight, menyatakan telah mempelajari antibodi sindrom antiphospholipid dalam populasi masyarakat umum selama bertahun-tahun. Menurut profesor bidang kedokteran internis itu, separuh dari jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit karena Covid-19 terkonfirmasi positif memiliki setidaknya satu di antara autoantibodi itu. "Yang ini adalah cukup mengejutkan," katanya.
Dalam hasil studi yang dipublikasikan di jurnal Science Translational Medicine, mereka menemukan sekitar separuh dari pasien parah Covid-19 menunjukkan gejala kombinasi antibodi berbahaya itu dengan kondisi neutrophils atau jumlah sel darah putih yang meledak.
Pada April lalu mereka telah lebih dulu melaporkan bahwa pasien parah Covid-19 di rumah sakit memiliki kadar neutrophil ekstraseluler lebih tinggi yang terjebak dalam darahnya. Untuk mempelajarinya lebih jauh, mereka menguji neutrophil yang eksplosif itu dan antibodi Covid-19 bersama-sama dalam hewan model tikus. Tujuannya, mencari tahu apakah kombinasinya berbahaya dan menyebabkan penggumpalan darah.
Hasilnya didapati antibodi-antibodi dari pasien yang aktif terinfeksi Covid-19 menyemai penggumpalan darah dalam hewan itu. "Penggumpalan darah terburuk yang pernah kami lihat," kata Kanthi, "Kami telah menemukan sebuah mekanisme baru bagaimana pasien dengan infeksi Covid-19 mungkin mengembangkan penggumpalan darah dalam tubuhnya."
Baca juga:
Studi Temukan Antibodi Drop Begitu Pasien Covid-19 Sembuh
Kanthi dan timnya menyatakan kalau temuan itu belum siap untuk diuji klinis, tapi mereka telah menambah perspektif baru terhadap penelitian peradangan dan thrombosis parah pada pasien Covid-19. Tim ke depan meneliti apakah pasien parah Covid-19 akan lebih baik diobati dengan cara disumbat produksi antibodinya itu.
Sebagai tambahan, temuan ini juga membawa pertanyaan baru seputar penggunaan donor plasma darah (plasma konvalesen) dari pasien yang sudah sembuh untuk mengobati pasien parah Covid-19. "Kami juga sedang meneliti berapa lama antibodi-antibodi ini bertahan dalam darah setelah si pasien sembuh dari infeksi virusnya," kata Knight.
EUREKALERT | JOHNS HOPKINS MEDICINE | FOX NEWS