TEMPO.CO, Jakarta - Raksasa farmasi Amerika Serikat, Moderna, mengklaim vaksin Covid-19 yang dikembangkannya mampu melindungi 100 persen relawan uji coba dari gejala parah Covid-19. Vaksin juga disebut menunjukkan konsistensi untuk semua usia, ras, etnis dan demografi jenis kelamin.
Klaim berdasarkan hasil utuh evaluasi terhadap uji klinis tahap tiga yang sudah dijalaninya melibatkan 30 ribu relawan di Amerika Serikat. Total, Moderna mendapati 196 relawan terinfeksi Covid-19, terdiri dari 185 orang dari kelompok penerima plasebo dan 11 dari mereka yang telah menerima suntikan calon vaksin.
Baca juga:
Membandingkan Rantai Distribusi Dingin Vaksin Pfizer, Moderna, dan Lainnya
Dari 196 kasus Covid-19 itu, sebanyak 30 di antaranya berkembang hingga memiliki gejala parah atau berat dan seorang di antaranya akhirnya meninggal. Namun, seluruhnya dipastikan berasal dari kelompok plasebo. Itu sebabnya Moderna mengeluarkan klaim 100 persen kalau vaksin yang dikembangkannya mampu melindungi dari gejala yang parah.
Moderna juga mengatakan 196 kasus Covid-19 yang sama mencakup 33 orang dewasa berusia di atas 65 tahun. Sebanyak 42 sukarelawan berasal dari berbagai kelompok ras, termasuk 29 Latin, 6 kulit hitam, 4 Asia-Amerika, dan 3 peserta multiras.
Selain itu, Moderna melaporkan tidak ada efek samping baru yang muncul selama pemantauan dilakukan secara internal. Efek samping yang paling umum hanya kelelahan, kemerahan dan nyeri di tempat suntikan, sakit kepala dan nyeri tubuh, yang meningkat setelah dosis kedua namun berumur pendek.
"Kami yakin memiliki vaksin yang sangat mujarab dan memiliki data untuk membuktikannya. Kami berharap dapat memainkan peran utama untuk titik balik pandemi ini,” kata Kepala Medis Moderna, Tal Zaks, Senin.
Baca juga:
Uji Vaksin Sinovac Bikin 20 Persen Relawan Demam, Ini Pesan Menristek
Hasil evaluasi akhir itu menghitung efikasi vaksin secara keseluruhan dalam melawan infeksi virus corona Covid-19 adalah sebesar 94,1 persen. Angka ini sebenarnya lebih rendah daripada yang diumumkan Moderna pada 16 November lalu yakni 94,5 persen namun Zaks menganggap perbedaan itu tak signifikan secara statistik.
“Vaksin itu menyebabkan gejala mirip flu yang signifikan pada beberapa peserta, yang sejalan dengan vaksin yang begitu manjur. Tapi sejauh ini tidak menimbulkan masalah keamanan yang signifikan,” kata Zaks menambahkan.
Atas hasil yang didapatnya itu, perusahaan obat yang berbasis di Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat, ini langsung mengajukan izin penggunaan darurat di Amerika Serikat dan juga Eropa pada Senin, 30 November 2020. Moderna menyusul langkah Pfizer yang seminggu lebih cepat mengajukan permohonan yang sama ke FDA.
Vaksin Covid-19 dari Pfizer disebut memiliki tingkat kemanjuran 95 persen dalam uji coba. Keduanya disamakan oleh basis teknologi pengembangan vaksin yang digunakan yakni mRNA. Ini adalah teknologi baru yang mensyaratkan distribusi vaksin nantinya dalam kondisi ultradingin hingga -70 derajat Celsius.
Baik vaksin Moderna dan Pfizer terbukti lebih efektif daripada yang diperkirakan dan jauh melampaui batas 50 persen yang ditetapkan oleh FDA. Rencananya, penasihat independen FDA dijadwalkan bertemu pada 17 Desember untuk meninjau data uji coba Moderna dan membuat rekomendasi. Mereka lebih dulu akan bertemu pada 10 Desember untuk meninjau data Pfizer.
Baca juga:
Agar Efikasi 62 Naik jadi 90 Persen, AstraZeneca Siapkan Uji Tambahan
Azra Ghani, ahli epidemiologi penyakit menular di Imperial College London, mengatakan rincian dari Moderna memastikan vaksin itu sangat efisien, termasuk untuk kasus Covid-19 yang parah. "Meskipun ini tidak mengecualikan risiko setelah vaksinasi mengingat masih ada jumlah kasus positif dari hasil uji klinis," katanya.
NDTV | NPR | CNN