TEMPO.CO, Jakarta - Asisten Perencanaan dan Anggaran Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Muda Muhammad Ali mengungkap faktor alam penyebab tenggelamnya kapal selam KRI Nanggala-402. Dia menyebut arus bawah laut atau internal waves yang bisa cukup kuat menarik kapal selam itu ke dasar laut dalam.
"Jadi jatuhnya kapal lebih cepat dari umumnya, dan ini yang harus diwaspadai,” kata Ali dalam keterangannya, Selasa 27 April 2021.
Komandan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Laut, Laksamana Muda Iwan Isnurwanto, menunjuk perairan utara Bali memiliki pergerakan arus yang dimaksud pada hari KRI Nanggala hilang kontak, 21 April lalu. Dia merujuk kepada data satelit Himawari-8 milik Jepang dan Satelit Sentinel milik Eropa.
“Kalau kita terkena internal waves, maka itu adalah kehendak alam," kata dia sambil menambahkan, "Tentunya para prajurit tidak bisa melakukan peran kedaruratan walaupun mereka sudah siap berada di pos tempurnya masing-masing."
Internal waves atau gelombang bawah laut bukanlah fenomena asing bagi para ahli oseanografi seperti Adi Purwandana dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Selat Lombok disebutnya sebagai lokasi di Indonesia yang paling kerap tertangkap citra satelit memiliki gelombang itu.
Selain di Selat Lombok, Adi menuturkan bahwa gelombang bawah laut juga bisa ditemukan di perairan lain di Indonesia. Dia menyebut Laut Sulawesi, Laut Maluku, Selat Ombai di Kepulauan Alor (NTT), dan yang terbaru ditemukannya lewat ekspedisi laut dalam Indonesia Timur 2021, yakni di Selat Lifamatola dan Laut Halmahera.
Adi, peraih gelar doktor lewat disertasinya mengenai internal waves di Laut Sulawesi, menerangkan setiap gelombang bawah laut dibangkitkan oleh adanya sill atau tonjolan di dasar laut, yang memisahkan perairan dalam di kedua sisinya. Di Selat Lombok, dia menjelaskan, Sill Nusa Penida yang membangkitkan gelombang itu dari arus pasang surut yang datang dari Samudera Hindia.
"Kalau gelombang bawah laut di perairan utara Indonesia dibangkitkan dari arus pasang surut yang datang dari Samudera Pasifik," katanya.
Di Selat Lombok, kedalaman laut di lokasi Nusa Penida Sill disebutnya 'hanya' 250-300 meter. Sedang di sisi selatan (Samudera Hindia) dan utaranya jauh lebih dalam. "Layaknya orang berjalan, arus pasang surut dari Samudera Hindia menjadi 'tersandung'.... internal waves lalu merambat ke arah utara," katanya.
Penampakan gelombang bawah laut (internal waves) yang menjalar dari Selat Lombok. Gelombang ini yang disebut TNI AL kemungkinan menyebabkan Kapal Selam NRI Nanggala-402 tenggelam di perairan utara Bali setelah dinyatakan hilang kontak Rabu 21 April 2021. (Sumber: nasa.gov)
Menurut penelitian yang pernah dilakukannya, Adi mengungkap amplitudo ekstrem dari gelombang bawah laut di Selat Lombok bisa setinggi 150-200 meter. Periodenya, atau jarak antar puncaknya, 10-30 menit. Sedang pembangkitannya setiap 12 jam. "Panjang gelombang bawah laut itu hitungan kilometer, beda dengan ombak di permukaan yang hanya meter," katanya menambahkan.
Menurut Adi, ada dua aspek penting perihal ombak-ombak bawah laut itu. Pertama menyangkut aspek ekologi. Dia menyebutkan kalau gelombang ini, ketika pecah di pesisir pulau, akan berdampak bagus untuk pengayaan nutrisi di perairan itu. "Arus dari lapisan bawah laut yang kaya nutrisi itu akan pecah dan melimpah di permukaan sehingga baik bagi ikan-ikan kecil," katanya.
Aspek kedua adalah pengaruhnya untuk navigasi transportasi bawah air seperti kapal selam. Arus vertikal, naik-turun gelombang, seperti yang disebut dua petinggi TNI AL di atas, menurut Adi, bisa mengganggu sonar dan berujung pengukuran antar objek menjadi kurang akurat. "Akurasi pengukuran sonar bisa terganggu dengan deviasi 5-20 meter per detik, bergantung stratifikasi atau pelapisan kepadatan kolom air, karena ada gelombang itu."
Tayangan video badan kapal selam KRI Nanggala 402 yang tenggelam dalam jumpa pers di Lanud I Gusti Ngurah Rai, Kuta, Bali, Ahad, 25 April 2021. Badan kapal selam ditemukan di kedalaman 839 meter dalam keadaan patah terbagi tiga. Johannes P. Christo
Adi mencatat kecepatan arus vertikal pada gelombang bawah laut yang berasal Nusa Penida Sill di Selat Lombok 1,0-1,5 meter per detik. Itu artinya, ketika ada objek dengan kecepatan rendah bergerak di kolom air, kecepatan turun yang drastis akan menciptakan efek turbulensi.
"Menurut saya, selama kapten bisa menguasai kapal selam, yang dirasakan hanya turbulensi itu. Beda lagi, misalnya, kapal sudah lebih dulu black out, bisa terbawa ke dasar laut lebih cepat," katanya tentang KRI Nanggala-402.
Baca juga:
LIPI Temukan Spesies Baru Hewan Laut Dijuluki Marine Scavenger
CATATAN:
Artikel ini telah diubah pada Jumat, 30 April 2021, pukul 21.32 WIB, untuk melengkapi kutipan tentang akurasi pengukuran sonar yang terdampak gelombang bawah laut. Terima kasih.