TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Pascasarjana Universitas YARSI, Jakarta, Tjandra Yoga Aditama, membeberkan penyebab Covid-19 bermutasi. Menurutnya, ada beberapa aspek yang berperan dalam mutasi virus, bahkan sampai muncul varian baru.
“Secara sederhana, kejadian apa pun di ilmu kesehatan itu tergantung tiga hal, manusia itu sendiri, penyebab penyakit, dan lingkungan. Jadi keseimbangan dan ketidakseimbangan dari aspek itu berperan,” ujar dia dalam acara virtual Kuliah Pakar Magister Sains Biomedis, Universitas YARSI, Rabu, 15 September 2021.
Untuk kondisi lingkungan, Tjandra mencontohkan, pada awal pandemi, Covid-19 menyebar pada Januari-Maret 2020 di musim dingin sehingga memunculkan argumen bahwa virus SARS-CoV-2 itu akan hilang ketika musim panas dengan aspek lingkungan berpengaruh.
Begitu musim panas datang, Covid-19 tidak hilang, bahkan di India dengan kondisi cuaca yang cukup panas sempat mengalami lonjakan kasus yang sangat tinggi. “Jadi dalam aspek lingkungan terbantahkan bukan secara ilmiah, tapi dengan kondisinya,” katanya lagi
Guru Besar di Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) itu menambahkan, dari segi manusia atau host dan penyebab penyakit, jelas virus membutuhkan tempat untuk hidup, yaitu manusia, binatang, bahkan bukan tidak mungkin juga termasuk tanaman.
Menurut Tjandra, sepanjang penularan antarmanusia terjadi, virus akan menerus ada dan berkembang biak. Jika penularan di masyarakat tinggi, maka replikasi virusnya pasti bertambah banyak, dan pada waktu bertambah banyak, virus melakukan copy paste tubuhnya, cuma tidak sama persis. Sebagian dari bagian tubuhnya berubah, itulah yang namanya mutasi.
“Kalau bagian yang berubahnya cukup banyak, itu bisa memunculkan varian baru. Nah itu konsep umum tentang mutasi virus,” tutur Tjandra.
Senada dengan Tjandra, Dosen Pascasarjana Biomedis di Universitas YARSI, Ahmad Rusdan Handoyo Utomo, menerangkan, virus untuk bisa berubah perlu “bertemu” dengan manusia. “Karena di situlah penggandaan itu terjadi, copy paste terjadi,” ujar Ahmad.
Peraih gelar PhD Molecular Medicine, University of Texas Health Science Center, Amerika Serikat itu mengatakan Covid-19 varian baru biasanya muncul di wilayah yang belum terkendali penanganannya, seperti di Kolombia, Brasil, termasuk India yang sempat melonjak tajam kasusnya. Sementara di Cina, tempat diduga pertama kali virus diidentifikasi tidak ada varian baru, karena langsung terkendali dengan pembatasan sosial yang ketat.
Artinya, kata Ahmad, ketika virus bisa menemukan inang yang imunokompromi—menurunnya sistem imun—khususnya pada para lansia, itu akan menjadi masalah, dan virus bisa bertahan lama dan tidak bisa kemana-mana. Tapi, terhadap orang yang sehat, cukup dua minggu bisa hilang.
“Nah orang dengan imunokompromi itu jadi produser mutan. Ketika orang itu akhirnya mengembuskan napasnya keluar, itu yang muncul kan bisa jadi mutasi atau varian tertentu,” tutur Ahmad.
Lulusan Postdoctoral Fellow Department of Pathology Harvard Medical School, Boston, Amerika Serikat itu, juga mengingatkan bahwa ketika varian virus itu sudah termodifikasi, maka bisa mengenai berbagai macam orang. “Baik orang yang belum divaksin, maupun orang yang sudah divaksin,” katanya.
Baca:
Guru Besar FKUI: Dunia Tidak Siap Hadapi Pandemi Covid-19