TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah mantan Kepala Kebun Raya Bogor mengkritik pengelolaan kebun raya terkini. Ditulis melalui surat bernomor 1-Istimewa, mereka menyatakan kritik berdasarkan pengamatan, serta adanya masukan dan keluhan di media sosial dari berbagai lapisan masyarakat.
“Kami merasa berkewajiban untuk meneruskannya kepada pimpinan yang secara struktur erat dengan tata kelola Kebun Raya Indonesia saat ini,” tertulis dalam surat bertanggal 20 September 2021 yang ditujukan kepada Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN dan ditembuskan di antaranya kepada Wali Kota Bogor itu.
Keluhan pertama adalah atraksi sinar lampu di waktu malam, Glow, yang dinilai berpotensi mengubah keheningan malam Kebun Raya Bogor. Menurut mereka, nyala dan kilau lampu dikhawatirkan akan mengganggu kehidupan hewan dan serangga penyerbuk.
Nature Communication melaporkan, penggunaan lampu berlebihan di waktu malam akan mengganggu perilaku dan fisiologi serangga penyerbuk, nokturnal maupun diurnal. Lebih jauh data dari Knop dkk (2017), melaporkan bahwa kunjungan polinator berkurang sampai 62 persen pada komunitas tumbuhan yang diteliti, dan pada tumbuhan tertentu menyebabkan terjadinya penurunan produksi buah sebanyak 13 persen.
“Kita belum mengetahui secara pasti kehidupan malam serangga penyerbuk tumbuhan tropika, tapi dampak yang sama besar kemungkinan akan terjadi di Kebun Raya,” katanya.
Hal kedua yang disoal adalah jalan setapak yang tersusun oleh batu kali khas Kebun Raya Bogor, kini di banyak bagian telah dicor dengan semen. Hal itu disebutkan dalam surat, tidak hanya mengurangi keindahan jalan batu gico, tapi juga mengurangi resapan air.
Air yang tidak meresap, mengalir di selokan dan langsung menuju sungai, akibatnya volume sungai akan meningkat. Besar kemungkinan akan berkontribusi pada luapan sungai penyebab banjir di Jakarta.
“Memelihara ekohidrologi di Kebun Raya sangatlah penting, dan sudah lama dilakukan dengan mengurangi jumlah bangunan dan menggantinya dengan koleksi tumbuhan,” tulis surat itu.
Sesuai dengan Peraturan LIPI no. 4 th 2019 tentang Pembangunan Kebun Raya, batas luas maksimal pembangunan fisik (pengerasan lahan) di Kebun Raya Bogor adalah 20 persen dari luas total Kebun Raya. Dengan pengecoran jalan batu gico, dan pemadatan di berbagai tempat diperkirakan akan melebihi batas maksimal 20 persen. “Berkurangnya resapan air juga dikhawatirkan mempengaruhi debit 5 mata air alami di Kebun Raya Bogor.”
Keluhan ketiga, perpustakaan Kebun Raya Bogor dengan berbagai buku tua 'antiquarium' dipindahkan ke gedung lain yang jauh dari kebun raya yang telah berusia lebih dari dua abad itu. “Menjauhkan buku dan sumber informasi dari keseharian peneliti Kebun Raya adalah kebijakan yang tidak mendorong meningkatnya riset, sekaligus menjauhkan munculnya inovasi kreatif para peneliti,” tutur para mantan kepala.
Di bagian akhir surat tertanda lima mantan Kepala Kebun Raya Indonesia yakni Profesor Made Sri Prana (1981-1983), Profesor Usep Soetisna (1983-1987), Suhirman (1990-1997), Profesor Dedy Darnaedi (1997-2003), dan Irawati (2003-2008)
Pengunjung di Kebun Raya Bogor, Jawa Barat. TEMPO/Frannoto
Kepala Pusat Penelitian Konservasi Tumbuhan dan Kebun Raya Bogor, Sukma Surya Kusumah, mengakui adanya surat itu namun menolak memberi tanggapan. Menurutnya, kewenangannya pasca-reorganisasi BRIN adalah sebatas urusan riset dan konservasi.
"Sebetulnya yang mengetahui detail mengenai itu Ibu Sekretaris Utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Nur Tri Aries Suestiningtyas,” katanya melalui sambungan telepon, Senin sore, 27 September 2021. Sebelum melebur menjadi BRIN, LIPI bertanggung jawab menaungi Kebun Raya, termasuk Kebun Raya Bogor, di bawah Kedeputian Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati.
Baca juga:
Ragam Penyebab Kerusakan Kabel Bawah Laut seperti Milik Telkom: Alam, Human Error, Sabotase