TEMPO.CO, Jakarta - Masyarakat diminta tak panik dengan kabar tentang NeoCoV, jenis yang lain lagi dari keluarga virus corona--berbeda dari SARS-CoV-2 penyebab Covid-19. Diberitakan kalau ilmuwan di Wuhan, Cina, menemukannya terkait erat dengan sindrom pernapasan Timur Tengah (MERS), penyakit virus corona yang pertama kali diidentifikasi di Arab Saudi pada 2012.
Virus corona ini diyakini sangat menular dan memiliki tingkat kematian yang tinggi. Menurut para ilmuwan di Akademi Ilmu Pengetahuan Cina dan Universitas Wuhan, satu dari tiga pasien yang terinfeksi NeoCov bisa meninggal karena komplikasinya.
"Tapi itu baru berdasar analisa dan sejauh ini (virus NeoCoV) belum menulari manusia," kata Guru Besar di Fakultas Kedokteran UI, Tjandra Yoga Aditama, yang juga Direktur Pasca-Sarjana Universitas YARSI dan pernah menjadi Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, Minggu malam 30 Januari 2022.
Tjandra menekankan kepada bagian penjelasan dari tim ilmuwan Wuhan itu yang menyatakan kalau NeoCoV yang sekarang bermutasi lagi maka kemungkinan dapat menimbulkan masalah pada manusia. Artinya, ada kemungkinan pula si virus tidak bermutasi lagi, atau bermutasi dengan arah yang berbeda.
"Para ahli tentu akan terus memantau perkembangan NeoCoV, dan kita ikuti saja perkembangan ilmiah yang valid," katanya sambil mengingatkan kembali bahwa mutasi virus bukanlah peristiwa baru dan terus terjadi sepanjang masa atas berbagai faktor. "Tetapi sekarang karena pandemi Covid-19 maka semua orang jadi sangat memperhatikannya," kata Tjandra lagi.
Dalam pemberitaan yang berbasis laporan pracetak-nya di repositori BioRxiv, NeoCoV ditemukan di kelelawar Afrika Selatan--jenis hewan yang sama yang diduga menjadi sumber SARS-CoV-2. Laporan tersebut belum mendapatkan tinjauan dari sesama ilmuwan lain. Badan Kesehatan Dunia WHO juga mengatakan bahwa penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memastikan efeknya pada manusia.
Baca juga:
Startup Yogya Gunakan 3D Printing Bangun Rumah di Lereng Merapi