TEMPO.CO, Jakarta -Berbicara soal ekologi, maupun Hari Bumi, khususnya di Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari Otto Soemarwoto, seorang pemikir dan pendekar Lingkungan Hidup.
Dilansir dari Buku Otto Soemarwoto: Pemikir dan Pakar Ekologi Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Data dan Analisa Tempo pada tahun 2019, perjuangan Soemarwoto sudah dimulai sejak 1960-an, ketika pepohonan di bukit dan lembah kawasan Bogor, Puncak, Cipanas, dan Cianjur berubah menjadi vila mewah yang akan mendatangkan petaka bagi Jakarta.
Hutan di sepanjang jalan tidak lama kemudian menyusul berganti menjadi warung-warung. Jalanan yang macet disesaki kendaraan ikut membuat suasana pengap di Kawasan ini.
Pada 1970-an, Soemarwoto juga sudah mengingatkan bahaya green gold rush, atau pembalakan hutan secara besar-besaran dan ugal-ugalan.
Menurutnya, aktivitas ini akan menimbulkan banjir dan tanah longsor di musim penghujan, dan keringnya mata air di musim kemarau.
Melihat fenomena ini, Soemarwoto, yang saat itu menjabat sebagai Direktur Kebun Raya Bogor sudah memperkirakan kerusakan lanskap Kawasan tersebut dan dampaknya bagi Jakarta. Soemarwoto sering melontarkan kritiknya melalui media sosial.
Soemarwoto mendesak lingkungan hidup sebagai prinsip dasar pembangunan negeri ini. Tetapi, pemerintah justru membuat kebijakan yang sifatnya insidental dan dampak yang dangkal. Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin menjadi sasaran kritik Soemarwoto ketika niatnya ingin membangun lahan parkir di atas Sungai Ciliwung. Bahkan, Soeharto, melalui Menteri Pariwisatanya pada masa itu, menyampaikan pada Soemarwoto bahwa kritiknya soal puncak dan kemacetan membuat Soeharto marah.
Berikutnya: Akibat kepentingan yang berbenturan...