TEMPO.CO, Jakarta - Upaya rumah sakit untuk melindungi orang-orang dari Covid-19 dengan melarang mereka untuk sementara waktu menemui anggota keluarga atau kerabatnya yang sedang dirawat secara intensif kemungkinan telah berkontribusi ke peningkatan signifikan gangguan kesehatan yang berkorelasi dengan stres. Ini seperti yang ditunjukkan dalam studi oleh tim peneliti dari University of Colorado, Amerika Serikat.
Studi, dipublikasi dalam JAMA Internal Medicine terbaru, melaporkan kalau hampir dua per tiga dari mereka yang dilarang berkunjung untuk bertemu dengan pasien yang adalah anggota keluarga terkasihnya itu menderita gangguan karena stres tiga bulan kemudian.
"Temuan kami menduga batasan visitasi ini mungkin berkontribusi memperburuk krisis kesehatan publik sekunder, sebuah epidemi kelainan yang berkorelasi dengan stres di antara anggota keluarga dari pasien yang sedang berada di ICU," kata Timothy Amass, asisten profesor di Fakultas Kedokteran, Universitas Colorado.
Amass yang juga penulis utama laporan studi itu menjelaskan bahwa pemberlakuan larangan visitasi di rumah sakit untuk mencegah penyebaran virus yang sangat menular dan penyakitnya yang mematikan pada waktu suplai obat-obatan sangat terbatas. Rumah sakit dan pejabat kesehatan publik juga memperhitungkan kapasitas fasilitas perawatan yang tersedia.
Namun, Amass dan timnya menemukan kalau dampak dari pembatasan itu memiliki efek yang bertahan lama pada banyak orang yang tidak diizinkan bertemu anggota keuarganya yang sedang dirawat itu. Menurut studi, memiliki anggota keluarga yang dikarantina karena Covid-19 berasosiasi dengan level tinggi gejala post-traumatic stress seperti depresi dan gangguan kecemasan.
Studi mensurvei orang-orang tiga bulan setelah anggota keluarganya dirawat di rumah sakit, menemukan kalau 64 persen dari para partisipan yang mencatat skor tinggi pada tes yang mengukur gejala post-traumatic stress. Itu lebih dari dua kali lipat dari level pra pandemi, ketika sekitar 30 persen anggota keluarga dari pasien yang dirawat ICU melaporkan gangguan terkait stres.
Untuk studi tersebut, Amass dan para koleganya mensurvei 330 anggota keluarga tiga bulan setelah kerabatnya dibawa ke ICU karena Covid-19. Para pasien itu dilarikan antara 1 Februari dan 31 Juli 2020, di masa awal pandemi, ke delapan rumah sakit di Colorado, Washington, Louisiana, New York, dan Massachusetts.
Amass dkk mengatakan kebijakan karantina mungkin juga memperkuat rasa tidak percaya antara anggota keluarga pasien dan penyedia layanan kesehatan. Mereka menulis, "Pandemi Covid-19 yang terus berlanjut ini menantang kemampuan anggota keluarga setiap pasien untuk membangun relasi dengan dokter, hilangnya rasa percaya ini bisa jadi yang diterjemahkan dalam meningkatnya gangguan yang berkorelasi dengan stres."
Wisatawan internasional memeluk kerabatnya saat tiba di Bandara Sydney setelah pelonggaran pembatasan COVID-19, dengan warga Australia yang divaksinasi penuh diizinkan masuk ke Sydney dari luar negeri tanpa karantina untuk pertama kalinya sejak Maret 2020, di Sydney, Australia, 1 November 2021. Setelah 18 bulan jutaan orang Australia sekarang bebas bepergian tanpa izin atau perlu dikarantina pada saat kedatangan. REUTERS/Jaimi Joy
Satu peserta studi yang disurvei melukiskan pengalaman menyedihkannya sebagai berikut: "Mereka berseru kepada kami, 'Apakah Anda ingin kami mencopot listriknya (ventilator)?'...Saya bilang, bagaimana bisa begitu?...Mereka mengatakan kalau mulut dan kedua bola matanya bergerak tapi mereka bilang dia sudah mati...Jadi, mereka tetap melakukan dan mencabut listriknya juga."
Para peneliti menambahkan kalau studi-studi tambahan dibutuhkan untuk mencari hubungan antara aturan larangan visitasi dan karantina pasien Covid-19 itu dengan faktor-faktor yang menyebabkan rasa tidak percaya tersebut.
MEDICALXPRESS
Baca juga:
Kasus Kontaminasi Vaksin Moderna Lagi, BPOM Pastikan di Indonesia Aman