TEMPO.CO, Jakarta - Aldilla Stephanie Suwana merupakan jebolan Harvard Law School. Lewat beasiswa Fulbright, dia berhasil menyandang gelar Master of Laws di konsentrasi Hukum dan Kebijakan Lingkungan. Lulus pada 2017, Aldilla kini berkarier di salah satu firma hukum bonafide di Indonesia, Soewito Suhardiman Eddymurthy Kardono (SSEK). Aldilla termasuk salah satu dari 50 future legal leaders versi Asia Business Law Journal 2020.
Sebelum memutuskan melanjutkan studi di Harvard Law School, Aldilla mendaftar ke sejumlah kampus ternama di antaranya Columbia University, New York University, Cornell University, Lewis & Clark Law School, serta Stanford University. Dia berhasil mengantongi Letter of Acceptance dari semua kampus tersebut. “Semuanya aku dapat. Tapi, ada satu kampus yang enggak keterima di Yale University,” ujarnya kepada Tempo.
Selama menjalani masa kuliah di negeri Paman Sam, Aldilla aktif di sejumlah kegiatan seperti menjadi editor di Harvard Environmental Law Review, jurnal hukum lingkungan pertama di Amerika Serikat yang diterbitkan oleh mahasiswa Harvard Law School sejak 1976. Aldilla juga pernah bergabung menjadi salah satu anggota di Harvard Law Entrepreneurship Project yang memberikan analisis hukum secara pro bono kepada para pengusaha di Harvard dan MIT.
Sempat Alami Imposter Syndrome
Menjadi mahasiswa Harvard, Aldilla mengaku sempat tak percaya diri ketika pertama kali menjalani kuliah di Amerika. Dia mengalami imposter syndrome, fenomena ketika merasa ragu atau tak pantas meraih pencapaian dalam hidup. “Dia awal masa pengenalan kampus kita dikasih tahu bahwa perasaan itu valid. Tapi, gimana kita mengelolanya agar bisa terus berusaha menyesuaikan diri,” ujarnya.
Menurut dia, lingkungan kampusnya amat mendukung untuk belajar dengan baik. Aldilla mudah beradaptasi dan bergaul dengan kawan-kawannya. Meski sempat kesulitan, Aldilla tak pantang menyerah untuk terus berusaha dan mencoba. Ketika menjelang ujian misalnya, Aldilla belajar lebih keras. Sehari sebelum ujian, dia begadang semalam suntuk untuk belajar.
Lulus Ujian Pengacara di New York
Usaha dan kerja kerasnya menuai hasil. Beberapa bulan setelah merampungkan studi di Harvard Law School, Aldilla mengambil ujian bar New York, ujian tertulis untuk mendapatkan lisensi advokat di sana. Hanya dengan sekali mencoba, Aldilla langsung dinyatakan lulus. Padahal ujian tersebut kerap disebut sebagai ujian pengacara terberat di dunia.
Dari data statistik New York Bar Exam pada 2017 misalnya, hanya 55 persen first timers pengacara asing yang bukan warga negara Amerika yang berhasil lulus ujian tersebut. Hasil tersebut tak mudah digapai. Aldilla harus belajar mati-matian selama kurang lebih dua bulan untuk bisa lolos. “Selama persiapan ujian, hari-hari aku diisi dengan belajar dan belajar,” katanya.
Menekuni bidang Hukum menjadi pilihan Aldilla karena linear dengan gelar sarjana Hukum yang dia peroleh di Universitas Indonesia (UI). Di UI, Aldilla lulus hanya dalam waktu tiga tahun dengan predikat cum laude dan lulusan terbaik di angkatannya pada 2011.
Aldilla Stephanie Suwana saat berada di kampusnya, Harvard Law School. Doc: pribadi
Sempat Grogi dan Mengasah Kemampuan Berbicara di Publik
Ketika memutuskan untuk menjadi seorang advokat, Aldilla terus mengasah kemampuan berbicara. Terkadang, Aldilla mengaku suka grogi berbicara di depan publik. Dia pun mengikuti berbagai kegiatan untuk meningkatkan kemampuan public speaking mulai dari Model United Nations (MUN) di Harvard pada 2009 dan kompetisi debat internasional Willem C. Vis International Commercial Arbitration Moot pada 2011.
“Dulu bahkan sempet gemetar bicara di hadapan publik. Tapi semakin lama aku terus berproses sehingga bisa semakin baik kemampuan public speaking dan sekarang jauh lebih comfortable,” ujarnya.
Lulus dari UI, Aldilla sempat berkarier di pemerintahan. Dia pernah menjadi penasehat hukum serta asisten Kepala Badan Pengolala REDD + yang bertanggung jawab langsung kepada presiden pada 2012 dan Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Ilegal atau Satgas 115 di era Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti pada 2015.
Dukungan Penuh Orang Tua
Semua pencapaian tersebut tak lepas dari dukungan orang tua Aldilla. Berasal dari Kediri, kedua orang tua Aldilla hijrah ke Ibu Kota dan bekerja di perusahaan swasta. Aldilla mengatakan amat mengagumi sosok kedua orang tuanya yang mengajarkan dia agar tak pantang menyerah dan bekerja keras. Dari kedua orang tuanya, Aldilla juga belajar nilai-nilai positif kehidupan dari mulai berperilaku terhadap sesama hingga pandai menempatkan diri di mana saja dia berada.
Sejak kecil, Aldilla sudah dibekali berbagai macam kemampuan oleh ibunya. Ibunya mendaftarkan Aldilla berbagai les mulai dari menggambar hingga piano. Aldilla bercerita alasan ibunya memberikan berbagai macam les adalah agar Aldilla bisa mandiri jika tak bisa bekerja.
“Jadi ibuku mikir kalau seburuk-buruknya aku enggak bisa kerja, setidaknya aku bisa jadi guru piano untuk mencari pengahasilan sendiri sehingga bisa mandiri,” ujar anak pertama dari tiga bersaudara ini.
Aldilla mengatakan ibunya adalah sosok yang menginspirasinya untuk bisa sekolah setinggi-tingginya. Dia bercerita orang tua ibunya bukanlah berasal dari keluarga yang mampu. Meski begitu, ibu Aldilla berkeinginan kuat melanjutkan studi di luar negeri. Sempat ditentang oleh kakek dan nenek Aldilla, ibunya tetap berupaya keras hingga akhirnya bisa meraih cita-cita kuliah di Amerika.
Buah jatuh tak jauh dari pohonnya, Aldilla mengikuti jejak ibunya kuliah di Amerika dan menjadi sosok yang menginspirasi. “Ibuku sosok yang sangat menginspirasi. Dia menjadikan pendidikan nomor satu. Dari dia, aku belajar banyak hal,” ujarnya. Dia pun berpesan kepada mahasiswa agar tak menyia-nyiakan potensi atau sumber daya agar terus berkembang untuk bisa menggapai cita.
Baca juga:
Amerika Perluas Program Beasiswa Fulbright
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu