Perwakilan dari Cina dan negara dengan pendapatan rendah dan sedang cukup yakin sejak awal agenda soal pendanaan iklim ini ditambahkan di awal konferensi. Keyakinan kalau COP27 akan membawa ke penciptaan pendanaan untuk mendukung negara-negara terdampak parah perubahan iklim.
Somalia, misalnya, yang lebih dari tujuh juta penduduknya menghadapi kelaparan dari kekeringan yang terus berkepanjangan. Atau, Pakistan, negara di mana bencana banjir besarnya pada tahun ini telah menyebabkan kehancuran senilai US$30 miliar.
"Ini telah menjadi tuntutan dari negara-negara paling rawan sejak lama dan selalu diblok oleh negara maju," kata Saleemul Huq dari Universitas Independen, Bangladesh. Dia menunjuk peran seluruh negara berkembang yang bersatu, dipimpin Pakistan, hingga akhirnya negara-negara maju membubuhkan persetujuannya beberapa saat sebelum konferensi ditutup.
Utusan khusus dari Pemerintah Amerika Serikat, John Kerry, tiba di COP27 dengan menentang pendanaan yang dimaksud. Menurutnya, pendanaan eksisting bisa digunakan untuk dampak kerusakan dan kerugian terkait iklim. Negosiator dari AS juga menolak usulan negara-negara penghasil gas rumah kaca yang besar harus menerima kewajiban untuk riwayat emisi mereka. Amerika khawatir usulan itu berujung ke klaim-klaim senilai triliunan dolar.
Uni Eropa juga pada awalnya skeptis, tapi kemudian mengubah posisinya dan menekan AS untuk mengikutinya. Draf--termasuk berapa banyak pendanaan dan siapa saja yang berkontribusi--akan didiskusikan dalam konferensi tahun depan.
Untuk pertama kalinya dalam konferensi iklim PBB, dokumen finalnya juga mendukung reformasi untuk raksasa kreditur seperti International Monetary Fund (IMF) dan World Bank. IMF, misalnya, memiliki dana US$1 triliun tersedia untuk dipinjamkan ke negara-negara yang sedang dililit masalah keuangan, tapi sangat sedikit porsinya yang tersedia untuk pendanaan iklim.
"Dorongan reformasi ini signifikan," kata Sarah Colenbrander yang meneliti pembiayaan iklim di Overseas Development Institute, sebuah think tank berbasis di London. "Ini karena dorongan datang dari negara-negara yang juga pemegang saham di institusi-institusi itu, dan mampu membuat perubahan itu."
Baca juga: Setahun Terakhir, Ternyata Makassar Tertinggi Alami Pergeseran Iklim di Indonesia
Dampak Krisis Energi
Krisis energi yang dipicu karena invasi Rusia ke Ukraina berkembang luas sepanjang diskusi. Tingginya harga gas alam telah membentuk ulang pasar energi global dan mendorong beberapa negara di Eropa untuk jatuh kembali ke batu bara sembari mereka mencari sumber pemasok baru gas alam.